Bab 2
Guru Pendidikan
Agama Islam (PAI)
Memberdayakan
Sekolah
Sebagai
Pusat
Pembangunan Karakter Bangsa
Secara ideal, sekolah
seharusnya berperan sebagai Pusat Pembangunan Masyarakat (Sosial Development
Center) seperti yang telah dilaksanakan sebelumnya oleh Pesantren di
Indonesia. Namun peran ideal dari sekolah seperti itu, hingga sekarang, dalam
era desentralisasi manajemen pendidikan, masih merupakan suatu harapan, belum
terlaksana. Mengapa? Mungkin karena Pemerintah belum mau melepaskan proses pengembangan
kurikulum, yang seharusnya dilakukan oleh guru di sekolah, hingga saat ini
masih terpusat? Apakah desentralisasi manajemen pendidikan dengan prinsip MBS
telah terlaksana secara konsisten?
Namun kesadaran akan
fakta-fakta empiris bahwa peningkatan mutu pendidikan terjadi di sekolah, yang
dilaksanakan oleh guru profesional, maka MBS harus terlaksana. Dimulai dengan
proses pengembangan kurikulum sekolah (KTSP) yang ditetapkan pada pasal 38 ayat
(2), harus dilakukan oleh guru-guru. Dengan demikian guru-guru dapat
menetapkan tujuan, materi, proses dan
evaluasi pembelajaran sesuai tuntutan masyarakat, sehingga sekolah dapat
berperan sebagai Pusat Pembangun Masyarakat, khususnya sebagai Pusat
Pembangunan Karakter Bangsa yang merupakan pondasi Pembangunan Nasional.
Siapa yang harus berperan
dalam memberdayakan sekolah sebagai Pusat Pembangun Karakter Bangsa? Jawabannya
adalah guru-guru dalam koordinasi kepala sekolah. Artinya semua guru-guru
disekolah harus dapat melaksanakan pendidikan berkarakter.
Selama ini guru-guru umum
dan kejuruan merasa bahwa tanggung jawabnya adalah membangun keilmuan dan
kejuruan siswa-siswanya, sedangkan pendidikan karakter adalah tanggung jawab
guru PAI. Pandangan inilah yang harus diubah, karena dalam era kurikulum
berbasis kompetensi, semua guru adalah pendidik karakter dalam ilmu dan
kejuruan yang diampunya.
Pendidikan Berbasis
Kompetensi harus dapat membangun lulusannya dengan cerdas, kompetitif,
produktif dan berkarakter. Dalam hal ini
peran guru PAI menjadi kunci, yaitu mengubah peran guru-guru umum dan guru-guru
kejuruan menjadi guru ibadah dalam bidang keilmuannya dan kejuruannya
masing-masing.
2.1 Peran Guru
PAI Sebagai Pewaris Rasul Muhammad Saw, Menyempurnakan
Akhlak
Guru adalah sosok orang
yang berilmu sehingga dapat disebut sosok “ulama”. Guru adalah pendidik yang
segala ucapannya layak untuk “digugu” dalam arti dipatuhi oleh peserta didik
dan diikuti oleh masyarakat lingkungannya dan perilakunya patut “ditiru”. Guru
merupakan pemimpin informal di sekolah/madrasah dan juga di masyarakat sebagai
sosok “teladan”.
Kepada siapa para Guru
harus berguru? Siapa sosok teladan yang harus
diteladani Guru? Allah Swt berfirman, yang artinya : “Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah” [QS. Al-Ahzab(33): 21].
Artinya bahwa sungguh
banyak contoh-contoh yang baik pada diri Rasulullah Muhammad Saw yang harus
ditiru oleh umatnya. Apa yang diucapkan Rasul harus digugu dan segala perilaku Rasul
harus ditiru oleh umatnya, maka Rasulullah merupakan “Guru” bagi umatnya dan
khususnya bagi Guru-Guru. Mengapa? Karena Guru sebagai ulama merupakan pewaris Nabi,
pewaris Rasulullah Muhammad Saw, yang harus melanjutkan tugas-tugas Rasul. Apa
sebenarnya tugas utama Rasulullah Muhammad Saw?
Rasulullah Muhammad Saw
bersabda, yang artinya : ”Sesungguhnya aku di utus untuk menyempurnakan
akhlak yang mulia.” (H.R. Muslim dan ahmad)
Oleh karena itu Guru
sebagai “ulama pewaris Nabi” harus melanjutkan perjuangan Nabi yaitu
menyempurnakan akhlak bangsa, khususnya akhlak generasi muda.
Artinya, semua Guru dalam
melaksanakan tugasnya sebagai pendidik, harus dapat membangun karakter peserta
didik. Padahal pada saat ini ada pemahaman bahwa Guru yang bertanggung jawab
dalam membangun karakter atau akhlak mulia peserta didik hanyalah Guru PAI
(Pendidikan Agama Islam).
2.2 Guru adalah Pendidik
Pembangun Karakter Generasi Muda
Mengapa semua Guru harus
menjadi pendidik karakter? Karena Allah Swt berfirman, yang artinya : ”Dan
Aku tidak ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada Ku”.
[QS.Adz-Dzariyat(51): 56]
Berdasarkan ayat ini,
tugas Guru di lembaga pendidikan dasar dan menengah adalah membangun mereka
menjadi “abdi Allah” atau hamba Allah Swt, bukan menjadikan lulusan menjadi “calon-calon
ahli dalam suatu disiplin ilmu” tertentu, melainkan membangun mereka menjadi
“ahli ibadah”.
Bagaimana profil seorang
hamba Allah, lulusan pendidikan dasar dan menengah? Sosok hamba Allah yang
Rahman (ibadurrahman) digambarkan dalam firmanNya sebagai seorang yang
rendah hati, tidak sombong, suka shalat malam, tidak boros dan tidak kikir,
tidak menyeketukan Allah, tidak membunuh, tidak berzina, kalau berbuat
kesalahan cepat bertobat, tidak bersumpah palsu, sensitif terhadap bila
diperingati dengan firmanNya, selalu berdo’a, sabar, sehingga mendapatkan
hadiah syurga [Qs Al Furqon (23): 63-74]. Bukankah seorang ahli ibadah
berakhlak mulia? Atau berkarakter?
Bagaimana caranya agar
semua Guru menjadi pendidik karakter? Pada saat ini kita mengenal Guru Fisika, Guru
Matematika, Guru Agama Islam, Guru Bahasa, Guru IPS dsbnya. Bagaimana caranya
agar Guru-Guru tersebut dapat menjadikan lulusan dari sekolahnya menjadi hamba
Allah yang Rahman (abdullah/abdurrahman) yang berakhlak mulia?
Reformasi pendidikan yang
dirumuskan dalam Undang-undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas Tahun 2003) mengubah Kurikulum Mata Pelajaran (Subject-matter
Curriculum) yang bertujuan menyiapkan lulusan sebagai calon ilmuwan,
menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi (Competence-based Curriculum) atau
KBK yang bertujuan membangun lulusan memiliki kompetensi.
Apa arti kompetensi?
Kompetensi adalah
keseluruhan pengetahuan, nilai dan sikap, yang dapat direfleksikan dalam kebiasaan
berpikir dan bertindak. Atau kompetensi adalah keseluruhan ilmu atau knowledge
(kognitif), iman atau attitude (afektif) dan amal atau skill (motorik).
Pendidikan berbasis kompetensi pada jenjang pendidikan dasar dan menengah
bertujuan membangun manusia seutuhnya, manusia yang berpribadi integral (integrated
personality). Pendidikan berbasis kompetensi membangun manusia untuk
memiliki ilmu yang ada di kepalanya (Head), membangun sistem nilai yang
ada di hatinya (Heart), baik nilai-nilai sosial maupun nilai-nilai
spiritual, dan juga meningkatkan kecakapan fisiknya (Hand). Pendidikan
berbasis kompetensi membangun lulusan sebagai sosok yang satu kesatuan antara
niat, ucapan dan perbuatan, bukan manusia munafik pengikut jalan syetan, sesuai
firmanNya, yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke
dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.[Qs Al Baqarah (2): 208]
Ayat ini merupakan
landasan teologis KBK atau pendidikan berbasis kompetensi yang bertujuan
membangun manusia seutuhnya, sebagai sosok muslim yang menyeluruh (kaaffah),
yaitu keseluruhan dari ucapannya (ilmu/kognitif) nilai dan sikapnya (iman/afektif)
serta perbuatannya (amal/motorik).
Contohnya seorang Guru
fisika di SMA harus dapat membelajarkan peserta didiknya untuk dapat memiliki
ilmu fisika (Kompetensi inti-3) yang
dapat dia gunakan dalam kehidupan (kompetensi
inti-4) dengan penuh manfaat bagi masyarakat dan dirinya (kompetensi inti-2) berdasarkan
nilai-nilai keimanannya kepada Allah Swt (Kompetensi
inti-1). Dengan demikian, bukankah peserta didik tersebut melakukan amal
saleh atau beribadah dengan menggunakan ilmu fisika? Bukankah peserta didik
tersebut belajar dan berlatih untuk berakhlak mulia ?
Bukankah Guru fisika
tersebut telah membelajarkan peserta didik untuk menjadi ahli ibadah yang
berkarakter ?. Maka Guru fisika tersebut telah
membelajarkan peserta didik untuk menjadi ahli ibadah yang berkarakter? Maka Guru
fisika dalam pendidikan berbasis kompetensi dapat disebut sebagai:
Guru ibadah spesialis ilmu
fisika ?
Guru agama spesialis ilmu fisika
?
Guru fisika pendidik karakter ?
Guru karakter spesialis fisika ?
Apapun istilahnya, Guru
fisika tersebut telah menjadi Guru pendidik pembangun karakter bangsa khususnya
generasi muda, dengan menggunakan Ilmu Fisika.
Demikian juga Guru-Guru
kejuruan di SMK diharapkan dapat mengubah tujuannya dari yang menjadikan
lulusan SMK sebagai teknisi menjadi seorang yang “Ahli Ibadah”.
Dengan melaksanakan
pendidikan berbasis kompetensi seorang Guru otomotif di SMK akan membelajarkan
peserta didiknya memiliki teknik otomotif (kompetensi inti-3), dapat
menggunakannya dalam pekerjaan (kompetensi inti-4) dengan penuh manfaat bagi
masyarakat pelanggannya (kompetensi inti-2) berdasarkan nilai-nilai keimanan
kepada Allah Swt (kompetensi inti-1).
Dengan demikian bukankah Guru
otomotif tersebut telah membangun lulusan SMK sebagai ahli ibadah yang
berkarakter ? Maka Guru kejuruan di SMK pun merupakan pendidik pembangun
karakter bangsa.
Guru PAI saat
ini adalah Guru mata pelajaran Al
Qur’an–Hadits, Tarikh dan SKI (Sejarah Kebudayaan Islam), Aqidah dan Keimanan, Fiqih-Ibadah dan mata pelajaran Akhlak.
Pola pembelajaran berbasis mata pelajaran atau subject matter (materi pelajaran) cenderung menghasilkan lulusan
yang hanya hafal pengetahuan, belum mampu mengamalkan pengetahuannya dalam
kehidupan dengan shaleh.
Dalam konteks
pendidikan berbasis kompetensi, kita bertanya kemampuan apa yang harus dimiliki
oleh lulusan sekolah setelah belajar PAI? Allah SWT berfirman, yang
artinya : “Dan Aku tidak menciptakan jin
dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku”. [Qs Adz Dzariyat (51):56].
Oleh karena
itu, kemampuan yang harus diperoleh lulusan pendidikan dasar dan menengah
sebagai hasil pembelajaran PAI adalah kemampuan ibadah. Dengan demikian PAI
yang Berbasis Kompetensi Bertema Ibadah akan bertujuan membangun akhlak mulia.
Bagaimana
mengintegrasikan kelima mata pelajaran yang ada sekarang menjadi Tema Ibadah,
dapat digambarkan dalam bagan berikut:
Gambar 2.1: PAI Berbasis Kompetensi Bertema Ibadah
Berdasarkan gambar tersebut,
maka kompetensi ibadah - misalnya Shalat -
dapat dirumuskan sebagai:
- Pemilikan ilmu tentang ibadah shalat yang diambil dari Al-Qur’an-Hadits, Fiqih dan Tarikh, (Kognitif)
- Dapat mengerjakan shalat dengan khusyu, berdasarkan nilai-nilai keimanan, (Afektif) dan
- Dapat mengimplementasikan nilai-nilai shalat dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk akhlak mulia (Motorik)
Hasilnya
adalah Muslim yang Kaaffah
[Qs.Al-Baqarah(2): 208]
Karena dalam
pembelajaran shalat: 1) Siswa berlatih shalat dengan khusyu, artinya siswa
memahami arti dari apa yang
diikrarkannya dalam shalat, diyakininya
dalam hati, dan kemudian dilatihkan dalam amalan, kegiatan sehari-hari,
sehingga 2) Siswa tersebut belajar mendirikan
shalat, yang akan menghasilkan perilaku akhlak mulia dengan tidak
berbuat keji antar manusia dan ingkar dari aturan Allah. [Qs Al- Ankabut (29):
45].
2.3 Bagaimana
Rasulullah Muhammad Saw Membangun Akhlak Mulia (Karakter)
Umatnya?
Rasulullah Saw
memerintahkan umatnya untuk mendidik anak-anak shalat sejak usia 7 Tahun.
Mengapa shalat begitu penting? Rasulullah Saw bersabda, yang artinya : ”Yang
pertama kali ditanya kepada seorang hamba pada hari kiamat adalah perhatian
kepada shalatnya. Jika shalatnya baik, dia akan beruntung. Dan jika shalatnya
rusak, dia akan gagal dan merugi. (HR Tabrani, Tirmidzi dan An Nasa-i)
Kesimpulan dari hadits
tersebut adalah bahwa shalat yang baik adalah shalat yang bermanfaat bagi diri
sendiri, baik di dunia maupun di akhirat. Shalat yang baik, juga akan
bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungannya, karena shalat yang didirikan
harus ditindak lanjuti dengan perilaku akhlak mulia, yaitu tidak berbuat keji
dan tidak ingkar pada perintah Allah Swt, sesuai firmanNya, yang artinya : “Bacalah kitab (Al Qur’an) yang telah
diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan dirikanlah
shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar.
Dan mengingat Allah (shalat) itu lebih besar keutamaannya. Dan Allah mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan. [Qs.
Al-Ankabut (29): 45).
Bagaimana cara mendirikan
shalat, atau melaksanakan shalat dengan baik dan benar itu? Rasulullah Saw bersabda,
yang artinya : “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (H.R.
Bukhari).
Kita harus mempelajari
bagaimana Rasulullah Muhammad Saw shalat, mulai dari gerakan, ucapan, pemahaman
akan apa-apa yang diucapkan dalam shalat untuk diyakinkan dalam hati, dan
implementasinya dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk akhlak mulia, yang
berdampak rahmatan lil’alamin.
Kita harus mempelajari
shalat Rasul secara komprehensif, karena shalat merupakan tiang agama. Apabila
“shalatnya tegak berdiri, maka tegaklah agamanya, apabila shalatnya runtuh,
runtuhlah agamanya”. Artinya apabila setiap umat muslim di Indonesia
“mendirikan shalat”, tidak hanya melakukannya, maka akan terbangun karakter
(akhlak mulia) bangsa, yang akan menjadi pondasi bagi pembangunan ekonomi nasional yang berdampak pada kesejahteraan
masyarakat.
Ibadah
shalat yang merupakan ibadah yang utama dan pertama kali dihisab pada hari
perhitungan, dapat dijadikan pembelajaran PAI berbasis kompetensi bertema
ibadah bertujuan membangun karakter (akhlak mulia) generasi muda, dan
menghilangkan pemeo STMJ yaitu shalat terus maksiat jalan. Dengan demikian
sesuai dengan perintah Rasulullah Saw didiklah siswa SD dengan kemampuan shalat
khusyu’. Mengapa harus belajar shalat khusyu’?
Karena dengan shalat
khusyu, Allah Swt berjanji akan memasukkan orang-orang mukmin kedalam kelompok
orang yang beruntung sesuai firmanNya, yang artinya : “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang
yang khusyu' dalam shalatnya” [Qs Al Mu’minun (23): 1-2]
Bagaimanakah shalat yang khusyu’ itu?
Pertama,shalat yang khusyu’ adalah
shalat yang dilakukan dengan penuh konsentrasi.
Dalam bahasa Indonesia khusyu’ adalah konsentrasi, maka shalat
yang khusyu’ adalah shalat yang
dilakukan dengan penuh konsentrasi. Semua indra difokuskan hanya kepada Allah
Swt yang merupakan satu-satunya tuhan yang wajib dan berhak disembah oleh
manusia. Demikian juga pikiran, hati dan fisik jasmaniah, hanya ditujukan pada
Allah Swt, oleh karena itu apa yang diucapkan dalam shalat harus difahami,
dimengerti dan diyakini oleh hati, meskipun ducapkan dalam bahasa Arab. Belajar
shalat khusyu’ merupakan pendidikan
yang pertama dan utama dalam kehidupan.
Shalat
yang khusyu’ adalah shalat yang dilakukan dengan konsentrasi dan ditindaklanjuti
dengan perilaku ahlak mulia, sesuai dengan firmanNya, yang artinya : “dan orang-orang yang menjauhkan
diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna”
[Qs Al Mu’minun (23): 3].
Setelah shalat khusyu’, siswa SD (anak usia 7
tahun) harus dilatih untuk tidak berbuat yang sia-sia atau tidak berguna.
Dengan kata lain mereka dilatih untuk berperilaku atau berkarakter baik. Mereka
juga dilatih untuk senang memberi, khususnya kepada kaum dhu’afa, dengan
berzakat sesuai firmanNya, yang artinya : ”dan
orang-orang yang menunaikan zakat” [Qs Al Mu’minun (23): 4].
Berilah pemahaman bahwa berzina dan LGBT
merupakan perbuatan yang melampaui batas, melanggar larangan Allah Swt dan
merupakan perbuatan dosa besar, sesuai
dengan firmanNya, yang artinya: “dan
orang-orang yang menjaga kemaluannya “ [Qs Al Mu’minun (23): 5]
Mereka juga harus dilatih untuk “amanah” dan menepati janji-janji, karena
janji adalah “hutang”, sesuai dengan firmanNya, yang artinya : “dan orang-orang yang memelihara
amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya” [Qs Al Mu’minun (23): 8].
Mereka harus dilatih
untuk belajar “memelihara shalat”nya. Apa maksudnya? Mereka
berlatih mengamalkan semua ucapannya dalam shalatnya, sesuai dengan firmanNya,
yang artinya : “dan orang-orang yang
memelihara shalatnya” [Qs Al Mu’minun (23): 9].
Inilah yang disebut dengan belajar “mendirikan
shalat”, yaitu belajar shalat dengan khusyu’ dan berlatih mengamalkannya dalam
kehidupan dalam bentuk akhlak mulia, yang dijanjikan Allah Swt untuk menjadi
pewaris syurga firdaus dan kekal di dalamnya, sesuai dengan firmanNya, yang
artinya : “mereka Itulah orang-orang yang
akan mewarisi,(yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. mereka kekal di
dalamnya” [Qs Al Mu’minun (23): 10-11].
Surat Al Mu’minun (23)
ayat 1 s/d 11 merupakan penjelasan dari surat Al Ankabut (29) ayat 45, bahwa
perintah menegakkan shalat itu ditindak lanjuti dengan perilaku kita
sehari-hari dalam kehidupan yaitu tidak boleh berbuat keji dan mungkar.
Dapat kita simpulkan
bahwa:
Pertama, shalat
khusyu’ adalah shalat yang
dilaksanakan dengan penuh konsentrasi, berpusat pada penyembahan dan pengabdian
manusia sebagai mahlukNya kepada Allah Swt, dengan melibatkan jiwa dan raga
secara totalitas (integral) dan kemudian diamalkan dalam kehidupan sehari-hari
dalam bentuk ahlak mulia.
Kedua, melaksanakan
shalat dengan khusyu’ dapat disebut
juga sebagai mendirikan shalat, karena mereka yang mendirikan shalat adalah
mereka yang mengerjakan shalat dan sesudah shalat harus ditindak lanjuti dengan
pelaksanaannya dalam kehidupan yaitu menahan diri untuk tidak berbuat keji
serta tidak berbuat yang dilarang oleh Allah Swt (mungkar), sesuai dengan firmanNya dalam Qs Al Ankabut (29): 45. Ayat
ini menegaskan bahwa mendirikan shalat terkait langsung dengan perilaku ahlak
mulia. Orang mendirikan shalat adalah mereka yang melaksanakan shalat
dengan khusyu’ dan memelihara shalatnya dalam kehidupan dalam bentuk perilaku
akhlak mulia.
Ketiga, bukankah
mendidik siswa shalat dengan berpedoman pada Al Qur’an [Qs Al Mu’minun (23) : 1
– 11] merupakan pendidikan berbasis kompetensi yang meng Integrasikan ilmu,
iman dan amal ?
2.4 Pola Pendidikan Sunda Berdimensi Karakter
Di wilayah Priangan ada
istilah “Jalmi masagi” atau “Jalmi pasagi”, yaitu orang –
orang “lega elmuna jeung gede amalna”.
Jalmi masagi dapat diartikan orang yang memiliki ilmu yang luas dan
banyak amalnya. “Amal” di wilayah priangan memiliki konotasi, arti yang tersirat
di dalamnya bahwa perbuatannya itu ikhlas dilakukan semata – mata sebagai
pengabdiannya kepada Allah Swt. Dengan demikian “Jalmi masagi” atau “Jalmi
pasagi” adalah orang yang banyak ilmunya dan digunakannya dalam kehidupan
sehari hari dengan Ikhlas.
Jalmi
masagi adalah sosok manusia yang berpribadi integral
yang memiliki ilmu (knowledge), digunakannya dalam kehidupan (skill)
dengan ikhlas (attitude).
Dipandang dari sudut
pendidikan maka “Jalmi masagi” atau “Jalmi pasagi“ adalah profil
hasil pendidikan seutuhnya yang mengintergrasikan ketiga domain pendidikan,
yaitu domain kognitif (Ilmu) domain motorik (aplikasi ilmu dalam kehidupan) dan
domain afektif (nilai ikhlas).
Masagi atau pasagi secara
kongkrit adalah bentuk balok atau kubus yang memiliki tiga dimensi, yaitu
panjang , lebar dan tinggi. Maka apabila kita analogikan panjang (p) menjadi
domain kognitif, dimensi lebar (l) menjadi domain motorik, dan dimensi tinggi (t)
menjadi domain afektif maka jalmi masagi dapat digambarkan sebagai sosok yang
memiliki kemampuan untuk memperoleh isi sebagai hasil perkalian p x l x t.
Dengan kata lain “jalmi masagi” akan memperoleh sebanyk volume atau isi dari
hasil ilmu (p) yang diamalkan (l) dalam iman kepadaNya (t), yaitu rizki yang barokah
(halal dan bermanfaat). Maka lebih banyak ilmunya akan makin besar rizkinya.
Demikian juga makin besar amalnya akan makin besar rizkinya dan makin besar
atau makin tinggi tingkat ke-ikhlasannya akan makin besar balasannya (pahalanya)
dari Allah Swt, aamiin Yaa Robbil Alamin.
Analisis “Jalmi Masagi”
Konsep pendidikan
masyarakat Sunda yang bertujuan membangun “orang-orang yang luas ilmu nya dan
ilmunya tersebut digunakan dalam kehidupan dengan ikhlas (amal salih)”
merupakan nilai budaya luhur pendidikan Sunda. Atau dapat disebut sebagai
konsep “atikan Sunda” (konsep pendidikan Sunda).
Mengapa menggunakan
istilah “lega elmuna” (luas ilmu nya) ?
Istilah luas memiliki
dimensi panjang dan dimensi lebar. Luas adalah panjang (p) kali lebar (l).
Apabila dimensi panjang dianalogikan sebagai domain kognitif (ilmu) dan dimensi
lebar dianalogikan sebagai metode atau proses, maka dapat diartikan seorang “Jalmi
masagi” memiliki ilmu yang luas karena ia berusaha menguasai dan memiliki
ilmu, melalui self learning.
Karena secara teologis
prinsip penguasaan dan pemilikan ilmu berdasarkan pada firman Allah Swt yang
artinya : “tiada seseorang memperoleh sesuatu kecuali apa yang diupayakannya
(sendiri)” [Qs An Najm (53): 39].
Jadi “Jalmi masagi”
belajar sendiri menguasai dan memiliki ilmu dengan aktif, dan dikenal di
Pesantren dengan “metode Sorogan” yaitu santri mempelajari bahan ajar
yang ingin dikuasainya, dan kemudian di evaluasi kebenaran hasilnya bersama Kiyai
atau Ustadz nya. Metode Sorogan menggambarkan betapa tingginya budaya Pesantren
dalam dunia pendidikan, karena sebenarnya “ilmu tidak dapat di transfer”.
Artinya Ilmu (konsep – konsep ilmu) yang dimiliki seorang Guru tidak dapat
ditransfer dari “kepala” Guru kepada “kepala” siswa.
Dengan demikian metode
sorogan termasuk pada pemahaman para konstruktivis, yaitu konsep – konsep
keilmuan (scientific
knowledge) hanya dapat dimiliki siswa dengan self learning (belajar
sendiri), self exploration (belajar dengan mengeksplorasi) dan self
evalution (belajar mengevaluasi keberhasilan belajar oleh diri sendiri) dan
apabila yakin telah memperoleh sesuatu, barulah dikonfirmasikan kepada guru
nya, melalui “sorogan”. Dengan belajar aktif melalui “Sorogan” para
santri akan memiliki ilmu yang luas.
Pola belajar dengan
metoda ilmiah, ada dalam Al Quran [Qs Al Alaq (96): 3 - 5], rupanya para Kiyai
zaman dahulu telah menggunakannya.
Pemilikan Ilmu yang luas
tidak akan ada mantaatnya tanpa diamalkan dalam kehidupan berdasarkan nilai –
nilai keimanan. Oleh karena itu para Kiyai Pesantren di tatar Pasundan
mengarahkan para santrinya kepada “jalmi masagi”. Mengapa ?
Karena yang dapat
menghindarkan diri seseorang dari azab nereka adalah “amal salih” yaitu
perbuatan yang berisikan nilai – nilai keimanan yang merupakan pengabdian
dirinya kepada Allah Swt [Qs. Adz Zariyat (51) : 56]. Seperti firmanNya, yang
artinya : “Sungguh telah Aku ciptakan manusia dengan bentuk yang sempurna.
Selanjutnya Aku masukkan semuanya ke tempat yang paling rendah (neraka).
Kecuali orang – orang yang beriman dan beramal salih kepadanya diberikan
pahala yang terus menerus “ [Qs At Tin (95): 4-6]
Rentetan ayat tersebut
merupakan salah satu firmanNya yang menekankan pada perbuatan yang dilandasi
oleh nilai iman (amal salih) atau akhlak mulia. Ilmu yang banyak dan digunakan
dalam kehidupan dengan ikhlas, akan berdampak pada penyebaran rahmatan lil
alamin. Maka kepada mereka Allah Swt berjanji akan meningkatkan derajatnya
[Qs Al Mujaadillah (58): 11]
Pola pendidikan yang
membangun lulusan yang “masagi” adalah pola pendidikan “Ar Rafi” yang
telah diimplementasikan di Perguruan Ar Rafi Bandung sejak Tahun 2004. Bukankah
“Atikan Sunda” (pendidikan Sunda) yang bertujuan membangun “jalmi masagi”
merupakan pola pendidikan untuk membangun manusia “unggul” ?
Bukankah pola pendidikan
berbasis kompetensi bertujuan memberdayakan lulusan yang dijanjikan Allah SWT
untuk menjadi manusia yang diunggulkan ?
2.5 Pendidikan Karakter Di Indonesia
2.5.1 Pengertian
Karakter
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta
mendefinisikan karakter sbb:
Karakter
adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk
hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan
negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat
keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia
buat. (Kemendiknas, Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar
dan Menengah, 2009)
Dengan demikian karakter
seseorang merupakan perilaku orang tersebut dalam berpikir, berbicara, bersikap
dan bertindak, yang dilandasi oleh nilai-nilai yang ada dalam sistem nilainya (value system), baik nilai personal,
nilai sosial maupun nilai-nilai ketuhanan.
Ditinjau dari sudut
performansi (unjuk kerja), baik verbal
performance, attitudinal performance dan physical performance, maka karakter dapat di definisikan secara
sederhana sebagai cara berpikir dan berbicara, bersikap dan bertindak
berdasarkan sistem nilai yang dimilikinya. Dengan demikian karakter dapat
disamakan dengan ahlak mulia, perbedaannya terletak pada perjanjian si pelaku
dengan tuhannya. Ahlak mulia merupakan karakter yang baik dari umat muslim,
karena ia punya perjanjian (aqidah)
dengan Allah Swt Sang Pencipta (Holik).
Nilai-nilai personal dan sosial dan spiritual umat muslim dilandasi oleh
nilai-nilai keimanannya kepada Allah Swt. Sedangkan karakter yang baik
berlandaskan kepada nilai-nilai personal, sosial dan spiritual yang bersifat universal.
Implementasi pembelajaran
yang mencerdaskan emosional-spiritual pada umumnya merupakan pelatihan untuk
membiasakan kebenaran dalam kehidupan sehari-hari, sehingga selalu terkait
dengan kecerdasan kinestetis (perbuatan). Artinya kecakapan bersikap yang
dilandasi oleh nilai-nilai ketuhanan lebih mudah dijelaskan dalam suatu
tindakan atau perbuatan (motorik),
yang di dalam masyarakat muslim dikenal dengan istilah amal salih. Amal adalah perbuatan atau tindakan, sedangkan salih
adalah nilai dan sikap orang yang berbuat amal tersebut, yaitu nilai-nilai
keikhlasan. Dengan kata lain, perbuatan tersebut dilaksanakan bukan termotivasi
oleh sesuatu manfaat fisik material (motivasi
ekstrinsik), melainkan hanya karena perintah Allah Swt, dengan berharap
akan keridho’anNya (motivasi intrinsik).
Dengan demikian, bukankah
pola pendidikan Pasundan juga berbasis kompetensi yang meng Integrasikan ilmu,
iman dan amal dengan tujuan membangun lulusan “masagi” ?
2.5.2 Pengertian Pendidikan Karakter
Tujuan dari pendidikan di
sekolah dan madrasah sangat tergantung pada kurikulum yang digunakannya.
Sebelum reformasi pendidikan, sekolah dan
madrasah menggunakan kurikulum mata pelajaran yang bertujuan untuk menyiapkan
lulusannya sebagai calon – calon ahli dalam suatu disiplin ilmu. Fokusnya
adalah menguasai konsep – konsep keilmuan dasar yang merupakan pondasi dalam
keahlian ilmu tersebut. Dalam pendidikan seperti ini dimensi karakter kurang
ditekankan. Boleh dikatakan sebagai pendidikan yang “tidak atau kurang” berdimensi karakter. Setelah
reformasi, pendidikan diarahkan kepada
kompetensi lulusan yang meng-intregrasikan ketiga domain, yaitu kognitif (ilmu)
afektif (nilai dan sikap) dan motorik (perilaku, tindakan).
Pendidikan berbasis kompetensi tidak berfokus
pada keilmuan semata – mata melainkan kepada ketiga domain secara proposional
sehingga aplikasi ilmu dalam kehidupan sosial merupakan latihan karakter.
Dengan demikian yang dimaksud dengan pendidikan
karakter adalah pendidikan yang berdimensi berkarakter.
Yang bagaimanakah
pendidikan yang berkarakter ?
Pendidikan berbasis kompetensi adalah pendidikan
yang mencerdaskan, kreatif, kompetitif, produktif dan berkarakter.
2.6 Peran Guru PAI dalam Memberdayakan
Sekolah sebagai Pusat Pembangunan
Karakter Bangsa
Para guru PAI dapat membangun kesadaran
guru-guru umum dan kejuruan bahwa membelajarkan siswa-siswanya untuk menguasai
ilmu dan teknologi tanpa pengamalannya dalam kehidupan dengan kebermanfaatan
bagi dirinya dan masyarakat dan berintikan nilai-nilai keimanan atau aqidah,
belum memenuhi perintah Allah Swt.
Artinya, belum dapat disebut sebagai ibadah
kepadaNya, karena hanya akan membangun
siswa yang tidak satu kesatuan antara ucapan, tindakan dan niatnya dalam
hatinya. Bukankah pembelajaran seperti itu hanya akan membangun lulusan yang
tidak memiliki pribadi integral? Naudzu billahi mindzalik.
Yakinkanlah kepada Guru-Guru umum dan
kejuruan bahwa tujuan pembelajaran dalam bidang keilmuan dan teknologi apapun
adalah membangun lulusan ahli ibadah [Qs Ad Zariyat (51):56] calon pemimpin [Qs
Al BAqarah (2): 30] masa depan.
Inilah yang disebut dengan pendidikan berbasis
kompetensi yang berlandaskan pada UU Sisdiknas Tahun 2003. Jadi pendidikan
berbasis kompetensi membelajarkan siswa untuk menguasai dan memiliki ilmu
pengetahuan dan atau teknologi (KI-3) melatih siswa untuk mengamalkannya dalam
kehidupan (KI-4) yang bermanfaat bagi masyarakat (KI-2) sebagai pengabdian
kepada Allah Swt (KI-1). Bila semua guru melaksanakan pendidikan
berbasis kompetensi secara konsisten, bukankah mereka membelajarkan siswa untuk
beribadah kepada-Nya? Bukankah semua guru menjadi pendidik karakter?
Apabila semua guru menjadi pendidik karakter
maka sekolah akan menjadi Pusat Pembangunan Karakter Bangsa. Inilah tugas utama
Guru PAI sebagai khalifatullah.
Disamping itu Guru PAI dapat meminta bantuan
guru-guru umum dan kejuruan untuk bersama-sama mendidik siswanya belajar dan
berlatih mendirikan shalat khusyu’, dan implementasinya dalam kehidupan sebagai
bentuk penebiasaan berakhlak mulia, yang berdampak pada latihan penyebaran
rahmatan lil’alamiin.