Jumat, 22 Maret 2013

Buletin Maret



Quovadis Pendidikan Indonesia?

Oleh: Dr. H. Hari Suderadjat, M.Pd.


Pada tahun1970-an, guru-guru Matematika dan IPA SMA/STM Indonesia diminta Malaysia untuk mengajar di sekolah-sekolah mereka, dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Ada dua arti dari peristiwa tersebut, pertama Malaysia sadar bahwa peningkatan mutu pendidikan hanya dapat dilaksanakan oleh guru-guru yang profesional, oleh karena itulah mereka meminta bantuan Indonesia mengirimkan guru-guru Indonesia yang dinilai mereka profesional. Kedua, hal tersebut merupakan pengakuan Malaysia terhadap tingginya mutu pendidikan Indonesia. Artinya pada tahun 1970-an mutu pendidikan Indonesia lebih tinggi dari Malaysia.

Bagamana peningkatan mutu pendidikan di Indonesia?

Salah satunya adalah dengan melakukan penyempurnaan kurikulum yaitu tahun 1975, 1984, 1994, 1999 yang merupakan kurikulum materi pelajaran (subject matter curriculum development), dan Kurikulum tahun 2004 dan Kurikulum 2006 yang berbasis kompetensi (competence-based curriculum development). Bagaimana hasil pendidikan Indonesia dalam membangun SDM dibandingkan dengan Malaysia?

Ternyata IPM (Indeks Pembangunan Manusia) Malaysia berada pada peringkat ke 61, dan meninggalkan Indonesia pada peringkat ke 124 dari 187 negara. Sedangkan dalam lingkup regional, Malaysia menduduki peringkat ke 2, sedangkan Indonesia menduduki peringkat ke 12 dari 21 negara Asia Pasifik (Data Menko Kesra 2011: http://data.menkokesra.go.id). Artinya mutu pendidikan Indonesia tertinggal jauh dari Malaysia. Mengapa? Pemikiran sederhana dari peristiwa tahun 1970-an, Malaysia meningkatkan mutu pendidikan melalui profesionalisasi guru. Dapat diduga bahwa guru-guru Malaysia belajar dari guru-guru profesional Indonesia dalam upaya peningkatan mutu pendidikan mereka. Hasilnya, mutu pendidikan mereka meningkat dengan pesat.

Mengapa?

Dunia pendidikan mengakui bahwa guru adalah jantungnya pendidikan, artinya adalah bahwa komponen  kunci peningkatan mutu pendidikan adalah guru, sedangkan kurikulum hanyalah merupakan dokumen perencanaan pendidikan. Bagaimanapun baiknya kurikulum, keberhasilannya dalam peningkatan mutu pendidikan akan sangat tergantung mereka yang melaksanakannya yaitu guru dan kepemimpinan kepala sekolah yang merupakan tumpuan keberhasilan manajemen sekolah.

Negara anggota OECD (Organization for Economic Cooperation Development) yang menyadari pentingnya guru profesional dan kuatnya kapasitas lembaga pendidikan adalah Shanghai-China, hasilnya berdasarkan data tahun 2009 OECD adalah: siswa berumur 15 tahun Shanghai, mendapat hasil test PISA (Program for International Student Assessment) dalam Membaca dengan ranking 1, Indonesia ranking 57, dalam Matematik siswa Shanghai berada pada ranking 1, Indonesia ranking 61, dan dalam Sains (IPA) siswa Shanghai berada pada ranking 1, Indonesia ranking 60, dari 65 negara. Kesimpulannya, Indonesia berada pada 10 negara terbawah, dan Shanghai nomor 1 dari 65 negara. Pola Shanghai tersebut identik dengan reformasi pendidikan Indonesia yang ditetapkan dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa:
Pertama, pemberdayaan sekolah melalui MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) ditetapkan pada pasal 51 ayat (1),
Kedua, kurikulum dikembangkan oleh satuan pendidikan (KTSP) ditetapkan pada pasal 38 ayat 2,
Ketiga, STTB diberikan kepada siswa setelah lulus  ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan ditetapkan pada pasal 61 ayat (2),

Ketiga hal tersebut menggambarkan bahwa peningkatan mutu pendidikan dilaksanakan oleh sekolah, yaitu oleh guru-guru profesional dalam manajemen sekolah yang kuat, karena faktanya memang sekolah yang melaksanakan pendidikan, tidak di Dinas ataupun Kemendikbud.

Kesimpulannya adalah, peningkatan mutu pendidikan hendaknya dilaksanakan melalui peningkatan kompetensi dan kualifikasi guru, dan peningkatan kapasitas lembaga pendidikan yang berkelanjutan dan terintegrasi, yang pernah dilakukan di SMK pada tahun 1989 dengan istilah Pengembangan Sekolah Seutuhnya (School Integrated Development).    


Pendidikan yang bermutu merupakan fondasi bagi pembangunan industri, seperti yang dialami Korea, yang saat ini mulai menyaingi Jepang dalam industri mobil dengan mobil KIA dan Hyundai. Dampaknya adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat, sedangkan negara yang mutu pendidikannya rendah, pendapatan perkapita dari masyarakatnyapun rendah seperti data tahun 2011 berikut ini.  GNI (Gross National Income) Malaysia sebesar US$ 13,685 sedangkan Indonesia hanya US$ 3,716 (Data http://en.wikipedia.org).

Bahkan dalam segi pembentukan moral generasi muda, hasil pendidikan Indonesia sangat menghawatirkan, seperti adanya aliran sesat, geng motor, narkoba dan minuman keras, free sex di kalangan remaja, tawuran siswa dan budaya menyontek.


Pada saat ini pendidikan di Indonesia, kembali disibukkan oleh perubahan Kurikulum 2006 menjadi Kurikulum 2013, hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah kita tidak akan belajar dari sejarah pendidikan Malaysia dan Indonesia sejak tahun1970-an hingga sekarang?

Kesibukan pendidikan pendidikan di Indonesia ditambah dengan perubahan pola Ujian Nasional (UN), yang ditanggapi oleh Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung dengan anjuran agar sekolah lebih banya melaksanakan Try Out siswa bisa lulus UN dan mendapatkan STTB. Sepertinya pendidikan kita hanya sebatas untuk mendapat STTB (Certificate Oriented), padahal sejak penulis jadi kepala STM Pembangunan (Sekolah Model Nasional) pada tahun 1974, berusaha untuk menghindari pendidikan yang hanya berorientasi kepada selembar ijazah. Kita harus memberdayakan sekolah sebagai Pusat Pembangunan Masyarakat (Social Development Center).    


Ar-Rafi’ Drajat Center
Sekretariat Pusat:
Jl. Pelajar Pejuang  45, No. 122, Bandung, 40264
Telp. 022-73036140, 7536320
E-mail: arrafidrajatcenter@gmail.com

Lembaga Diklat                                           Lembaga Diklat 2
Perguruan Ar-Rafi’ Bandung                         Perguruan Ar-Rafi’ Baleendah
Jl. Sekejati III No. 20                                   Jl. Raya Banjaran No. 173A Km. 12
Kota Bandung                                              Reungascondong Baleendah 40375
Telp. 022-7311009                                       Telp. 022-70686497
Web. www.perguruanarrafi.sch.id                  Web. www.sdarrafi2.sch.id                            














Selasa, 19 Maret 2013

Kegiatan Ar-Rafi' Drajat Center Dalam Acara Diskusi Panel
Tentang Sosialisasi Kurikulum 2013 dan Implementasinya di 
Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur

Kegiatan Sosialisasi Kurikulum dan Implentasinya di Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur diselenggarakan oleh Kelompok Kerja Pengawas Sekolah (KKPS) SMK Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur, dengan nara sumber tunggal dari Ar-Rafi' Drajat Center yaitu Dr. H. Hari Suderadjat, M.Pd. Kegiatan dilaksanakan pada hari Rabu Tanggal 13 Maret 2013 dengan para peserta berjumlah 100 orang dari Pengawas SMK, Kepala SMK, Wk. Kurikulum, Ketua Program Studi, Guru Adaptif dan Guru Normatif.
















Jumat, 08 Maret 2013

Selasa, 05 Maret 2013

Rabu, 20 Februari 2013

Buletin4


Pemberdayaan Sekolah
Sebagai Pusat Pembangunan Karakter Bangsa Melalui
Pendidikan Berbasis Kompetensi

Oleh: Hari Suderadjat

A.      Latar Belakang Masalah

Selama ini praktisi pendidikan berpendapat bahwa pendidikan karakter atau ahlak mulia di sekolah merupakan tugas guru agama (Pendidikan Agama Islam/PAI). Di luar guru PAI semuanya bertanggung jawab pada keilmuan, seperti IPA, IPS, Bahasa dan sebagainya. Telah terjadi dikhotomi antara ilmu dan agama, bahkan terjadi pemisahan antara materi keilmuan dengan nilai-nilai keilmuan. Pendidikan fisika misalnya, hanya berorientasi pada materi keilmuan yaitu agar peserta didik memiliki ilmu fisika (kognitif), tidak begitu peduli terhadap keterampilan peserta didik dalam mengaplikasikannya dalam kehidupan (motorik), apalagi kebermanfaatan konsep fisika dalam membangun lingkungan (afektif), yang merupakan pendidikan karakter. SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) mendidik lulusannya untuk menguasai teknik kejuruan, seperti mesin, listrik, elektronika, bangunan dsbnya, tetapi apakah aplikasi kejuruannya dalam dunia kerja berlandaskan nilai-nilai ahlak mulia atau tidak, sepertinya tidak menjadi tanggung jawab guru kejuruan. SMK saat ini sudah jauh lebih baik, lulusannya bukan hanya menguasai teori melainkan juga prakteknya di dunia kerja, namun pandangan bahwa pendidikan ahlak merupakan tanggung jawab guru PAI, masih melekat pada mayoritas guru-guru SMK.

Mengapa demikian?
Pengaruh paradigma positivist yang menyatakan bahwa ilmu bebas nilai (value free) berdampak pada pendidikan keilmuan yang tidak mengintegrasikan nilai, tidak aneh apabila ada praktisi hukum (oknum) yang menggunakan hukum positif tetapi tidak berdasarkan pada nilai-nilai keadilan sebagai nilai keilmuan hukum (disciplinary value). Tidak aneh apabila ada praktisi pendidikan atau guru (oknum) membantu peserta didiknya menyelesaikan soal-soal UN (Ujian Nasional) melalui contek masal, yang berarti “mendidik ketidak jujuran” yang bertentangan dengan nilai-nilai pendidikan, khususnya pendidikan yang memanusiakan manusia seutuhnya. Inilah gambaran pelaksanaan pendidikan yang berorientasi pada keilmuan tetapi kehilangan nilai-nilai pendidikan atau nilai-nilai karakter. Bahkan tidak sedikit guru agama Islam (oknum) yang mengajar ilmu Al Qur’an, ilmu Hadist, ilmu Fiqih, ilmu Ahlak, ilmu Aqidah dan Keimanan dalam lingkup ilmu agama, tetapi tidak melatihkan peserta didik berperilaku dengan nilai-nilai ahlak mulia.
Pendidikan seperti itu hanya akan menghasilkan SDM yang tidak berpribadi integral, atau manusia munafik, calon pemimpin yang tidak memiliki integritas kepemimpinan yang berdampak pada  pembangunan bangsa dan negara dengan 1001 krisis. Banyak pemimpin nasional yang berpendapat bahwa pendidikan merupakan sarana yang tepat bagi pencegahan korupsi, apakah pendidikan yang berlandaskan paradigma positivist yang memisahkan ilmu dengan sistem nilainya akan dapat membangun generasi anti korupsi? Pendidikan yang bagaimanakah yang diyakini dapat membangun generasi anti korupsi? Inilah yang harus dipikirkan oleh para pakar dan praktisi pendidikan di Indonesia.

B.      Reformasi Pendidikan
Kurikulum 1975, 1984, 1994 dan 1999 merupakan kurikulum yang dikembangkan berdasarkan materi pelajaran (mata pelajaran) yang dalam implementasinya cenderung berfokus pada pengetahuan semata (kognitif). Mungkin dalam pendidikan kejuruan orientasinya tidak hanya teori (kognitif) namun juga prakteknya (motorik) di dunia kerja. Namun keduanya belum mengintegrasikan nilai dan sikap (afektif) yang berorientasi pada perkembangan karakter.
Reformasi pendidikan melalui Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, mengubah Kurikulum 1994 yang berbasis pengetahuan menjadi Kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi (KBK) yang kemudian disempurnakan pada tahun 2006 yang disebut dengan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Secara konsep pendidikan berbasis kompetensi menghilangkan dikhotomi antara ilmu dan agama, dan mengubah pembelajaran yang hanya berorientasi pada pengetahuan yang cenderung menghasilkan verbalisme, dogmatisme dan pribadi lulusan yang terpecah (split personality) menjadi lulusan yang berpribadi integral.
Kompetensi dalam KBK didefinisikan sebagai: keseluruhan pengetahuan, nilai dan sikap, yang dapat direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Definisi ini dapat kita yakini kebenarannya karena Allah Swt berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”. [Qs. Al Baqarah (2): 208]. Allah Swt menghendaki umatNya menjadi muslim secara keseluruhan, baik fisik (domain motorik) maupun mental (domain kognitif dan domain afektif). Dengan demikian, berdasarkan ayat tadi pendidikan berbasis kompetensi dapat diartikan sebagai proses memanusiakan manusia seutuhnya, yaitu lulusan yang memiliki ilmu pengetahuan (Head), yang dapat digunakan dalam kehidupannya (berpikir, berucap dan bertindak/ Hand) dengan nilai-nilai ahlak mulia (karakter/Heart). Kalau tidak menyeluruh maka mereka dikategorikan sebagai pengikut syaitan?
Tetapi bagaimana implementasinya di sekolah dan madrasah? Sudahkah seluruh lembaga pendidikan melaksanakan pendidikan berbasis kompetensi yang konsisten dengan konsep kompetensi dalam Kurikulum 2004? Pada tahun 2009 dan 2010 yang lalu Kemendikbud mempromosikan pendidikan karakter, bukankah pendidikan berbasis kompetensi sudah merupakan pendidikan karakter?
Implementasi KBK yang dapat membangun SDM yang cerdas, kompetitif, produktif dan berahlak mulia dapat diilustrasikan dalam gambar berikut:



Gambar tersebut menjelaskan bahwa apabila kompetensi di definisikan secara konsisten sebagai penguasaan atau pemilikan ilmu pengetahuan yang dapat digunakan dalam kehidupan berintikan nilai-nilai ahlak mulia, maka implementasinya akan menghasilkan lulusan sebagai sosok muttaqien (bertakwa) yang selalu mengikuti aturan Allah Swt dan menghindari apa yang dilarang olehNya. Pendidikan berbasis kompetensi berlandaskan pada paradigma post-positivist yang mengemukakan bahwa ilmu terikat nilai (value bound). Inilah konsep reformasi pendidikan, namun sayangnya dalam implementasinya masih terpengaruh oleh pendidikan yang berbasis materi pelajaran, sehingga saat ini terjadi pendidikan berbasis materi pelajaran dalam “kemasan”  pendidikan berbasis kompetensi.    

C.  Bagaimana Pendidikan Berbasis Kompetensi Dapat Memberdayakan Sekolah Sebagai Pusat Pembangunan Karakter bangsa?

Secara konsep pemberdayaan sekolah dimulai pada tahun 2003 dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), khususnya melalui pasal 51 ayat (1) tentang manajemen berbasis sekolah (MBS), yang merupakan perubahan dari manajemen pendidikan yang sentralistik, yang terpusat di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta, manjadi manajemen berbasis sekolah. Artinya sekolah dapat mengembangkan kurikulumnya sendiri seperti yang ditetapkan pada pasal 38 ayat (2) tentang KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), melaksanakan dan mengevaluaiinya, yang tertera pada pasal-pasal lainnya. Tujuan sekolah harus berorientasi pada Tujuan Pendidikan Nasional yang ditetapkan pada Pasal 3. Berdasarkan pasal-pasal dalam UU Sisdiknas Tahun 2003 tersebut idealnya sekolah dapat menjadi Pusat Pembangunan Karakter Bangsa, khususnya bagi lingkungannya, karena:
Pertama, apabila sekolah diminta untuk melaksanakan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), maka sekolah dapat mengelola semua komponen pendidikan yang dimilikinya, dalam arti bahwa sekolah dapat melaksanakan manajemen mutu total (total quality management). Dengan kata lain sekolah dapat melaksanakan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah (MPMBS). Kunci keberhasilan MPMBS bertumpu pada kepemimpinan Kepala Sekolah seperti yang dikemukakan Sallis (1993) bahwa: “Kepemimpinan merupakan tumpuan keberhasilan manajemen sekolah”. Pendapat Sallis ini dapat diyakini kebenarannya karena rasulullah Muhammad Saw bersabda: “...tunggulah kehancurannya apabila salah menunjuk pemimpin...”. Demikian juga penunjukan Kepala Sekolah, bila salah menunjuk dan menetapkan Kepala Sekolah tunggulah kehancuran sekolah itu.
Bagaimana peran Kepala Sekolah sebagai pemimpin pendidikan dalam menjadikan sekolah sebagai Pusat Pembangunan Karakter Bangsa? Peran pemimpin yang sudah dikenal di masyarakat Indonesia adalah:
Ing ngarso sung tulodo,
       Ing madyo mangun karso
                       Tut wuri handayani
Seorang pemimpin harus berada di depan untuk memberikan contoh, di tengah ia harus membangun prakarsa, dan di belakang harus mendorong lembaga agar tetap maju. Peran yang pertama dan utama seorang pemimpin sekolah adalah memberikan keteladanan kepada semua orang-orang yang ada di sekolah. Inilah kepemimpinan yang dicontohkan oleh rasulullah Muhammad Saw,seperti firmanNya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah [Qs. Al Ahzab (33): 21] .
Kalau firman Allah Swt tertulis dalam Al Qur’an, maka contoh orang yang bermoralkan Al Qur’an adalah Nabi Muhammad Saw yang siddiq, tabligh, amanah dan fatonah. Inilah sifat kepemimpinan kepala sekolah sebagai “guru” yang dapat “digugu” dan “ditiru” oleh semua personil sekolah dan khususnya oleh peserta didik.
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang dapat menjadikan “pengikut”nya menjadi pemimpin-pemimpin. Memang pada hakekatnya semua orang adalah pemimpin seperti sabda Rasulullah: “Sesungguhnya kalian semua adalah pemimpin, yang akan diminta pertanggung jawabannya kelak”. Allah Swt menciptakan manusia untuk menjadi pemimpin di muka bumi [Qs. Al Baqarah (2): 30].
Kepala sekolah adalah pemimpin pendidikan di sekolah, semua staff dan guru juga merupakan pemimpin yang harus memberikan keteladanan bagi semua peserta didik dan menjadikan peserta didik menjadi calon-calon pemimpin bangsa di masa depan, paling tidak untuk menjadi pemimpin dirinya sendiri untuk berperilaku dengan ahlak mulia.
Apabila hal ini terlaksana maka sekolah telah dapat membangun budaya ahlak mulia dalam memberdayakan peserta didik bermoralkan Al Qur’an. Ada peringatan yang difirmankan Allah Swt bahwa: “Hai orang-orang mukmin mengapa engkau berkata sesuatu yang tidak engkau lakukan, kebencianku sangat besar kepada mereka yang berbicara sesuatu tetapi ia sendiri tidak melakukannya ”[Qs. Ash Shaff (61): 2-3].
Peringatan ini tidak hanya bagi kepala sekolah melainkan untuk semua guru dan staff sekolah, bahwa apa yang diperintahkan kepala sekolah, yang diucapkan guru kepada peserta didik, yang disampaikan staff sekolah kepada peserta didik harus dicontohkan oleh mereka yang menyampaikan perintah. Kalau tidak, maka mereka akan mendapatkan kebencian dari Allah Swt, padahal yang kita harapkan adalah keridhoanNya yang di dalamnya ada syurga.
Dengan kata lain apa yang disampaikan guru sebagai nasihat kepada siswa dalam berperilaku ahlak mulia, harus dicontohkan oleh guru tersebut, sesuai dengan kata-kata bijaksana: “Hai para guru janganlah engkau berharap peserta didikmu akan berperilaku seperti yang engkau nasihatkan, karena mereka akan banyak berperilaku seperti yang engkau contohkan”.
Kesimpulan yang pertama adalah kepala sekolah adalah penanggungjawab pertama dan utama dalam membangun budaya ahlak mulia di sekolah, melalui semua guru dan staff sekolah dan membangun kampus sekolah yang Islami melalui semua komponen pendidikan yang dimiliki sekolah.
Kedua, kepala sekolah harus dapat mengubah pola pemikiran guru-guru bahwa penanggung jawab pendidikan karakter adalah guru PAI, melainkan semua guru yang melaksanakan kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Bahwa pendidikan berbasis kompetensi mengubah pola pembelajaran yang menghasilkan lulusan yang  hanya menguasai konsep keilmuan (hanya satu domain yaitu kognitif) menjadi lulusan yang memiliki kompetensi yang mengintegrasikan ketiga domain (kognitif, motorik dan afektif). Bahwa pendidikan berbasis kompetensi menghasilkan lulusan yang memiliki ilmu (kognitif), terampil menggunakan ilmunya dalam kehidupan (motorik) dengan kebermanfaatan bagi lingkungannya (nilai, afektif). Bukankah lulusan yang dapat menggunakan ilmunya dalam kehidupan dengan penuh manfaat, mereka telah melakukan ibadah sosial (ibadah gho’ir mahdoh)? Bukankah guru yang melaksanakan kurikulum berbasis kompetensi menjadi guru ibadah? Contohnya, guru Fisika dalam pendidikan berbasis kompetensi, memfasilitasi siswa untuk belajar menguasai konsep-konsep Fisika, kemudian berdiskusi dan berlatih untuk implementasinya dalam kehidupan yang bermanfaat bagi lingkungannya, artinya bahwa siswa berlatih untuk beribadah sosial, sehingga guru Fisika melatih siswa beribadah sosial, bukankah guru Fisika tersebut menjadi guru ibadah sosial? Bukankah guru Fisika tersebut telah berperan menjadi guru agama, atau guru ahlak atau guru budi pekerti?  
Kalau semua guru melaksanakan kurikulum berbasis kompetensi maka secara otomatis semua guru akan mendidik siswanya berahlak mulia atau berkarakter, dan sekolah akan menjadi pusat pembangunan karakter siswa yang merupakan anak bangsa. Dengan kata lain sekolah berperan menjadi Pusat Pembangunan Karakter Bangsa, apabila semua guru dan staf merupakan personal yang kompeten, dalam kepemimpinan kepala sekolah yang profesional.
Berdasarkan gambar, pendidikan berbasis kompetensi yang dilaksanakan secara konsisten akan menghasilkan lulusan sebagai sosok muttaqien, yaitu yang patuh pada aturan yang ditetapkan oleh Allah Swt, menghindarkan diri dari apa yang dilarang olehNya serta selalu mengharap akan petunjukNya. Amin








Rabu, 06 Februari 2013

Ringkasan Buku Pemberdayaan Sekolah Dasar



Pemberdayaan Sekolah Dasar (SD)
Sebagai Fondasi Peningkatan Mutu Pendidikan
Dalam
Pembangunan SDM yang Cerdas, Kompetitif, Produktif dan Berahlak Mulia yang Dibutuhkan Pembangunan Nasional

Oleh: Hari Suderadjat


    Banyaknya TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di mancanegara, dan masalah diantara mereka yang harus berhadapan dengan hukum, merupakan salah satu gambaran umum bahwa di pendidikan Indonesia belum mampu menyiapkan SDM (Sumber Daya Manusia) yang cerdas, kompetitif, produktif dan berahlak mulia.
Sensus Nasional yang dilakukan oleh BPS (Badan Pusat Statistik) pada tahun 2003 menggambarkan bahwa: lebih tinggi pendidikan di Indonesia, lebih rendah tingkat kemandirian dan sikap kewiraswastaannya. Hal ini menggambarkan bahwa lulusan pendidikan menengah belum mampu menyiapkan tenaga kerja yang kompeten, dan lulusan pendidikan tinggi belum mampu mengembangkan lapangan kerja untuk tenaga kerja tingkat menengah.
Mengapa hal itu bisa terjadi?
Tampaknya, akar masalah berada pada, pertama pelaksanaan pendidikan dengan Kurikulum 1994 yang berbasis mata (materi) pelajaran (subject matter curriculum development) tidak dapat membangun SDM yang memiliki kemampuan kerja (kompetensi). Oleh karena itulah Pemerintah mengubah kurikulum tersebut menjadi Kurikulum 2006 yang berbasis kompetensi atau KBK (competence-based curriculum development).
Dalam konteks pendidikan berbasis kompetensi maka lulusan SD (Sekolah Dasar) diharapkan memiliki “kecakapan dasar” sebagai fondasi bagi “kecakapan akademik” dan atau “kecakapan vokasional” yang kompetitif. Namun  pemberdayaan SD sebagai “dasar” atau fondasi bagi “struktur bangunan” pendidikan menengah atau tinggi, saat ini belum menjadi prioritas, kondisi mayoritas SD saat ini tidak jauh berbeda dengan SD (Sekolah Desa) zaman penjajahan Belanda dulu, yang  mengajarkan membaca (ca), menulis (lis) dan berhitung (tung), agar lulusannya dapat menjadi buruh, tukang dan pedagang mikro. Padahal “kecakapan dasar” yang meliputi “kecakapan berpikir” (intelektual), “kecakapan bersikap” (emosional-spiritual) dan “kecakapan kinestetis” (fisik-motorik) merupakan kunci keberhasilan lulusan SD untuk meraih “kecakapan akademik” di SMP/SMA, dan “kecakapan vokasional” di SMP/SMK dalam program pengadaan tenaga kerja tingkat menengah yang cerdas, kompetitif, produktif dan berahlak mulia.
Seharusnya ca-lis-tung tidak ditafsirkan hanya sebagai belajar membaca, menulis dan berhitung melainkan juga belajar berpikir ilmiah, yaitu berpikir induktif (ca-lis) dan berfikir deduktif (tung) seperti firmanNya dalam Al Qur’an [Qs. Al ‘Alaq (96): 3-5]. Pola  pembelajaran yang memberdayakan kecakapan berpikir peserta didik SD, merupakan pendidikan memanusiakan manusia, yang membedakannya dengan binatang. Mengapa? Karena manusia adalah binatang berpikir, kalau manusia tidak mau dan tidak mampu berpikir maka derajatnya sama dengan binatang ternak, bahkan lebih sesat [Qs. Al A’raaf (7): 179].
Inilah pentingnya SD dalam membekali kecakapan dasar berpikir, bersikap dan bertindak, sebagai muslim seutuhnya [Qs. Al Baqarah (2): 208]. Masalahnya adalah, bisakah SD saat ini menyelenggarakan pendidikan berbasis kompetensi yang dapat membekali lulusannya dengan kecakapan dasar?
Penulis berpendapat, mayoritas SD saat ini belum mampu, masih jauh dari harapan kita, bahwa SD harus berperan dan berfungsi sebagai “dasar” atau “fondasi” bagi pembangunan “struktur pendidikan menengah dan tinggi, dapat diilustrasikan seperti dalam gambar berikut:

Juru Teknik
(vokasional)

Teknisi
Tinggi

Tenaga
Profesional

SD

Sp2
Sp1

S3
S2

D4

S1

SMK

SMA

SMP

D

U

A

P
 
                      Gambar: SD Sebagai Fondasi Struktur Bangunan Pendidikan Menengah dan Tinggi

Gambar di atas memberikan bayangan pada kita bagaimana kalau fondasi (SD) tidak kokoh, maka Struktur Bangunan Menengah dan Tinggi akan ambruk. Artinya untuk mendirikan bangunan 15 lantai, maka perlu meningkatkan daya dukung tanah, analoginya adalah peningkatan kesiapan anak usia dini (PAUD) untuk memasuki SD. Selanjutnya dibuat fondasi yang kokoh untuk menyangga bangunan 15 lantai, analoginya membekali lulusan SD dengan kecakapan intelektual (kecakapan proses berpikir), kecakapan bersikap (emosional-spiritual) dan kecakapan fisik (motorik), sebagai “dasar” atau fondasi dan kunci keberhasilan mereka dalam menempuh pendidikan selanjutnya dan juga dalam kehidupannya kelak. Kemudian barulah mendirikan struktur bangunan dari lantai 1 s/d lantai 15, analoginya  adalah peningkatan mutu pendidikan SMP, SMA/SMK, S1, S2 dan S3. Inilah gambaran pembangunan gedung 15 lantai yang terintegrasi (integrated/system development approach) dari tanah yang telah diperkuat (PAUD), fondasi yang kokoh (SD) dan struktur bangunan 15 lantai (SMP s/d S3). Demikian juga seharusnya “pembangunan” mutu pada Sistem Pendidikan Nasional, yang ditunjukkan dengan penamaan kelas yang berkelanjutan, dimulai dari kelas 1 SD s/d kelas 12 SMA, bukankah hal ini menggambarkan adanya satu kesatuan?
Secara operasional peningkatan mutu sistem pendidikan nasional tidak akan berhasil tanpa memberdayakan SD sebagai fondasinya, melalui pendidikan berbasis kompetensi, inilah permasalahan yang pertama, dan yang kedua adalah masalah infra struktur SD agar dapat melaksanakan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MBS), yang ditetapkan dalam UU Sisdiknas Tahun 2003, Pasal 51 ayat (1). SD diharapkan dapat membekali lulusannya dengan ”kecakapan dasar”, sebagai generic life skill (kecakapan hidup yang bersifat umum dan mendasar) yang dapat menjadi kunci keberhasilan mereka untuk menempuh pendidikan selanjutnya dan mengarungi kehidupannya di masyarakat, baik sebagai tenaga vokasional maupun tenaga profesional, yang berahlak mulia.
Penulis mulai memberdayakan SD sebagai Fondasi “Pembangunan Pendidikan Nasional” sejak tahun 2003, dengan lebih dahulu menyiapkan bahan pembelajaran tematis, dan kemudian mendirikan SD Ar-Rafi’ Kota Bandung pada tahun 2004, dan SD Ar-Rafi’ Baleendah Kabupaten Bandung pada tahun 2005. Selanjutnya kedua SD tersebut dijadikan Labschool Pascasarjana Universitas Islam Nusantara pada tahun 2005 dan pada tahun 2009 Dinas Pendidikan Provinsi Jabar menetapkan keduanya sebagai SD Penyelenggara Akselerasi Pembelajaran. Ditinjau dari rata-rata perolehan nilai UASBN 2011-2012, kedua SD tersebut masuk kategori A, dengan tetap mempertahankan nilai-nilai ahlak mulia karena tidak melakukan “contek masal”.

Ringkasan tersebut dapat dibaca lengkap di Buku: 

"Pemberdayaan SD sebagai Fondasi Peningkatan Mutu Sistem Pendidikan Nasional Bagi Pembangunan SDM yang Cerdas, Kompetitif, Produktif dan Berahlak Mulia".


Kegiatan di dalam kelas SD Ar-Rafi' Baleendah
Kegiatan Belajar di Lab Multimedia
SD Ar-Rafi' Baleendah

Gedung SD AR-Rafi

Upacara pagi di SD Ar-Rafi' Bandung
Shalat berjama'ah




SD Ar-Rafi’ Bandung 
Jl. Sekejati III/ 20 Kiaracondong
Telp/fax (022)  7311009  
                      SD Ar-Rafi’ Baleendah
                      Jl. Raya Banjaran No. 173A Km. 12
                      Reungascondong Baleendah
                      Kabupaten Bandung 40375
                      Web: http://www.sdarrafi2.sch.id  







luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com