Jumat, 25 November 2016

Pendidikan Agama Islam (PAI) Berbasis Kompetensi Bertema Ibadah (Membangun Generasi Khalifah Yang Abdullah)



                 Bab 2
Guru Pendidikan Agama Islam (PAI)
Memberdayakan Sekolah
Sebagai
Pusat Pembangunan Karakter Bangsa

Secara ideal, sekolah seharusnya berperan sebagai Pusat Pembangunan Masyarakat (Sosial Development Center) seperti yang telah dilaksanakan sebelumnya oleh Pesantren di Indonesia. Namun peran ideal dari sekolah seperti itu, hingga sekarang, dalam era desentralisasi manajemen pendidikan, masih merupakan suatu harapan, belum terlaksana. Mengapa? Mungkin karena Pemerintah belum mau melepaskan proses pengembangan kurikulum, yang seharusnya dilakukan oleh guru di sekolah, hingga saat ini masih terpusat? Apakah desentralisasi manajemen pendidikan dengan prinsip MBS telah terlaksana secara konsisten?
Namun kesadaran akan fakta-fakta empiris bahwa peningkatan mutu pendidikan terjadi di sekolah, yang dilaksanakan oleh guru profesional, maka MBS harus terlaksana. Dimulai dengan proses pengembangan kurikulum sekolah (KTSP) yang ditetapkan pada pasal 38 ayat (2), harus dilakukan oleh guru-guru. Dengan demikian guru-guru dapat menetapkan  tujuan, materi, proses dan evaluasi pembelajaran sesuai tuntutan masyarakat, sehingga sekolah dapat berperan sebagai Pusat Pembangun Masyarakat, khususnya sebagai Pusat Pembangunan Karakter Bangsa yang merupakan pondasi Pembangunan Nasional.
Siapa yang harus berperan dalam memberdayakan sekolah sebagai Pusat Pembangun Karakter Bangsa? Jawabannya adalah guru-guru dalam koordinasi kepala sekolah. Artinya semua guru-guru disekolah harus dapat melaksanakan pendidikan berkarakter.
Selama ini guru-guru umum dan kejuruan merasa bahwa tanggung jawabnya adalah membangun keilmuan dan kejuruan siswa-siswanya, sedangkan pendidikan karakter adalah tanggung jawab guru PAI. Pandangan inilah yang harus diubah, karena dalam era kurikulum berbasis kompetensi, semua guru adalah pendidik karakter dalam ilmu dan kejuruan yang diampunya.
Pendidikan Berbasis Kompetensi harus dapat membangun lulusannya dengan cerdas, kompetitif, produktif dan berkarakter.  Dalam hal ini peran guru PAI menjadi kunci, yaitu mengubah peran guru-guru umum dan guru-guru kejuruan menjadi guru ibadah dalam bidang keilmuannya dan kejuruannya masing-masing.


2.1   Peran Guru PAI Sebagai Pewaris Rasul Muhammad Saw, Menyempurnakan  
        Akhlak
Guru adalah sosok orang yang berilmu sehingga dapat disebut sosok “ulama”. Guru adalah pendidik yang segala ucapannya layak untuk “digugu” dalam arti dipatuhi oleh peserta didik dan diikuti oleh masyarakat lingkungannya dan perilakunya patut “ditiru”. Guru merupakan pemimpin informal di sekolah/madrasah dan juga di masyarakat sebagai sosok “teladan”.
Kepada siapa para Guru harus berguru? Siapa sosok teladan yang harus  diteladani Guru? Allah Swt berfirman, yang artinya : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” [QS. Al-Ahzab(33): 21].
Artinya bahwa sungguh banyak contoh-contoh yang baik pada diri Rasulullah Muhammad Saw yang harus ditiru oleh umatnya. Apa yang diucapkan Rasul harus digugu dan segala perilaku Rasul harus ditiru oleh umatnya, maka Rasulullah merupakan “Guru” bagi umatnya dan khususnya bagi Guru-Guru. Mengapa? Karena Guru sebagai ulama merupakan pewaris Nabi, pewaris Rasulullah Muhammad Saw, yang harus melanjutkan tugas-tugas Rasul. Apa sebenarnya tugas utama Rasulullah Muhammad Saw?
Rasulullah Muhammad Saw bersabda, yang artinya : ”Sesungguhnya aku di utus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (H.R. Muslim dan ahmad)
Oleh karena itu Guru sebagai “ulama pewaris Nabi” harus melanjutkan perjuangan Nabi yaitu menyempurnakan akhlak bangsa, khususnya akhlak generasi muda.
Artinya, semua Guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik, harus dapat membangun karakter peserta didik. Padahal pada saat ini ada pemahaman bahwa Guru yang bertanggung jawab dalam membangun karakter atau akhlak mulia peserta didik hanyalah Guru PAI (Pendidikan Agama Islam).

2.2  Guru adalah Pendidik Pembangun Karakter Generasi Muda
Mengapa semua Guru harus menjadi pendidik karakter? Karena Allah Swt berfirman, yang artinya : ”Dan Aku tidak ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada Ku”. [QS.Adz-Dzariyat(51): 56]
Berdasarkan ayat ini, tugas Guru di lembaga pendidikan dasar dan menengah adalah membangun mereka menjadi “abdi Allah” atau hamba Allah Swt, bukan menjadikan lulusan menjadi “calon-calon ahli dalam suatu disiplin ilmu” tertentu, melainkan membangun mereka menjadi “ahli ibadah”.
Bagaimana profil seorang hamba Allah, lulusan pendidikan dasar dan menengah? Sosok hamba Allah yang Rahman (ibadurrahman) digambarkan dalam firmanNya sebagai seorang yang rendah hati, tidak sombong, suka shalat malam, tidak boros dan tidak kikir, tidak menyeketukan Allah, tidak membunuh, tidak berzina, kalau berbuat kesalahan cepat bertobat, tidak bersumpah palsu, sensitif terhadap bila diperingati dengan firmanNya, selalu berdo’a, sabar, sehingga mendapatkan hadiah syurga [Qs Al Furqon (23): 63-74]. Bukankah seorang ahli ibadah berakhlak mulia? Atau berkarakter?
Bagaimana caranya agar semua Guru menjadi pendidik karakter? Pada saat ini kita mengenal Guru Fisika, Guru Matematika, Guru Agama Islam, Guru Bahasa, Guru IPS dsbnya. Bagaimana caranya agar Guru-Guru tersebut dapat menjadikan lulusan dari sekolahnya menjadi hamba Allah yang Rahman (abdullah/abdurrahman) yang berakhlak mulia?
Reformasi pendidikan yang dirumuskan dalam Undang-undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas Tahun 2003) mengubah Kurikulum Mata Pelajaran (Subject-matter Curriculum) yang bertujuan menyiapkan lulusan sebagai calon ilmuwan, menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi (Competence-based Curriculum) atau KBK yang bertujuan membangun lulusan memiliki kompetensi.
Apa arti kompetensi?  
Kompetensi adalah keseluruhan pengetahuan, nilai dan sikap, yang dapat direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Atau kompetensi adalah keseluruhan ilmu atau knowledge (kognitif), iman atau attitude (afektif) dan amal atau skill (motorik). Pendidikan berbasis kompetensi pada jenjang pendidikan dasar dan menengah bertujuan membangun manusia seutuhnya, manusia yang berpribadi integral (integrated personality). Pendidikan berbasis kompetensi membangun manusia untuk memiliki ilmu yang ada di kepalanya (Head), membangun sistem nilai yang ada di hatinya (Heart), baik nilai-nilai sosial maupun nilai-nilai spiritual, dan juga meningkatkan kecakapan fisiknya (Hand). Pendidikan berbasis kompetensi membangun lulusan sebagai sosok yang satu kesatuan antara niat, ucapan dan perbuatan, bukan manusia munafik pengikut jalan syetan, sesuai firmanNya, yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.[Qs Al Baqarah (2): 208]
Ayat ini merupakan landasan teologis KBK atau pendidikan berbasis kompetensi yang bertujuan membangun manusia seutuhnya, sebagai sosok muslim yang menyeluruh (kaaffah), yaitu keseluruhan dari ucapannya (ilmu/kognitif) nilai dan sikapnya (iman/afektif) serta perbuatannya (amal/motorik).
Contohnya seorang Guru fisika di SMA harus dapat membelajarkan peserta didiknya untuk dapat memiliki ilmu fisika (Kompetensi inti-3) yang dapat dia gunakan dalam kehidupan (kompetensi inti-4) dengan penuh manfaat bagi masyarakat dan dirinya (kompetensi inti-2) berdasarkan nilai-nilai keimanannya kepada Allah Swt (Kompetensi inti-1). Dengan demikian, bukankah peserta didik tersebut melakukan amal saleh atau beribadah dengan menggunakan ilmu fisika? Bukankah peserta didik tersebut belajar dan berlatih untuk berakhlak mulia ?
Bukankah Guru fisika tersebut telah membelajarkan peserta didik untuk menjadi ahli ibadah yang berkarakter ?. Maka Guru fisika tersebut telah membelajarkan peserta didik untuk menjadi ahli ibadah yang berkarakter? Maka Guru fisika dalam pendidikan berbasis kompetensi dapat disebut sebagai:
Guru ibadah spesialis ilmu fisika ?
Guru agama spesialis ilmu fisika ?
Guru fisika pendidik karakter ?
Guru karakter spesialis fisika ?
Apapun istilahnya, Guru fisika tersebut telah menjadi Guru pendidik pembangun karakter bangsa khususnya generasi muda, dengan menggunakan Ilmu Fisika.
Demikian juga Guru-Guru kejuruan di SMK diharapkan dapat mengubah tujuannya dari yang menjadikan lulusan SMK sebagai teknisi menjadi seorang yang “Ahli Ibadah”.
Dengan melaksanakan pendidikan berbasis kompetensi seorang Guru otomotif di SMK akan membelajarkan peserta didiknya memiliki teknik otomotif (kompetensi inti-3), dapat menggunakannya dalam pekerjaan (kompetensi inti-4) dengan penuh manfaat bagi masyarakat pelanggannya (kompetensi inti-2) berdasarkan nilai-nilai keimanan kepada Allah Swt (kompetensi inti-1).
Dengan demikian bukankah Guru otomotif tersebut telah membangun lulusan SMK sebagai ahli ibadah yang berkarakter ? Maka Guru kejuruan di SMK pun merupakan pendidik pembangun karakter bangsa.
Guru PAI saat ini adalah Guru mata pelajaran Al Qur’an–Hadits, Tarikh dan SKI (Sejarah Kebudayaan Islam), Aqidah dan Keimanan, Fiqih-Ibadah dan mata pelajaran Akhlak. Pola pembelajaran berbasis mata pelajaran atau subject matter (materi pelajaran) cenderung menghasilkan lulusan yang hanya hafal pengetahuan, belum mampu mengamalkan pengetahuannya dalam kehidupan dengan shaleh.
Dalam konteks pendidikan berbasis kompetensi, kita bertanya kemampuan apa yang harus dimiliki oleh lulusan sekolah setelah belajar PAI? Allah SWT berfirman, yang artinya : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku”. [Qs Adz Dzariyat (51):56].
Oleh karena itu, kemampuan yang harus diperoleh lulusan pendidikan dasar dan menengah sebagai hasil pembelajaran PAI adalah kemampuan ibadah. Dengan demikian PAI yang Berbasis Kompetensi Bertema Ibadah akan bertujuan membangun akhlak mulia.
Bagaimana mengintegrasikan kelima mata pelajaran yang ada sekarang menjadi Tema Ibadah, dapat digambarkan dalam bagan berikut:
Gambar 2.1: PAI Berbasis Kompetensi Bertema Ibadah
Berdasarkan gambar tersebut, maka kompetensi ibadah - misalnya Shalat -  dapat dirumuskan sebagai:
  • Pemilikan ilmu tentang ibadah shalat yang diambil dari Al-Qur’an-Hadits, Fiqih dan Tarikh, (Kognitif)
  • Dapat mengerjakan shalat dengan khusyu, berdasarkan nilai-nilai keimanan, (Afektif) dan
  • Dapat mengimplementasikan nilai-nilai shalat dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk akhlak mulia (Motorik)
Hasilnya adalah Muslim yang Kaaffah [Qs.Al-Baqarah(2): 208]
Karena dalam pembelajaran shalat: 1) Siswa berlatih shalat dengan khusyu, artinya siswa memahami arti dari apa yang diikrarkannya dalam shalat, diyakininya dalam hati, dan kemudian dilatihkan dalam amalan, kegiatan sehari-hari, sehingga 2) Siswa tersebut belajar mendirikan shalat, yang akan menghasilkan perilaku akhlak mulia dengan tidak berbuat keji antar manusia dan ingkar dari aturan Allah. [Qs Al- Ankabut (29): 45].



2.3 Bagaimana Rasulullah Muhammad Saw Membangun Akhlak Mulia (Karakter)
      Umatnya?
Rasulullah Saw memerintahkan umatnya untuk mendidik anak-anak shalat sejak usia 7 Tahun. Mengapa shalat begitu penting? Rasulullah Saw bersabda, yang artinya : ”Yang pertama kali ditanya kepada seorang hamba pada hari kiamat adalah perhatian kepada shalatnya. Jika shalatnya baik, dia akan beruntung. Dan jika shalatnya rusak, dia akan gagal dan merugi. (HR Tabrani, Tirmidzi dan An Nasa-i)
Kesimpulan dari hadits tersebut adalah bahwa shalat yang baik adalah shalat yang bermanfaat bagi diri sendiri, baik di dunia maupun di akhirat. Shalat yang baik, juga akan bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungannya, karena shalat yang didirikan harus ditindak lanjuti dengan perilaku akhlak mulia, yaitu tidak berbuat keji dan tidak ingkar pada perintah Allah Swt, sesuai firmanNya, yang artinya : “Bacalah kitab (Al Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan mengingat Allah (shalat) itu lebih besar keutamaannya. Dan  Allah mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan. [Qs. Al-Ankabut (29): 45).
Bagaimana cara mendirikan shalat, atau melaksanakan shalat dengan baik dan benar itu? Rasulullah Saw bersabda, yang artinya : “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (H.R. Bukhari).
Kita harus mempelajari bagaimana Rasulullah Muhammad Saw shalat, mulai dari gerakan, ucapan, pemahaman akan apa-apa yang diucapkan dalam shalat untuk diyakinkan dalam hati, dan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk akhlak mulia, yang berdampak rahmatan lil’alamin.
Kita harus mempelajari shalat Rasul secara komprehensif, karena shalat merupakan tiang agama. Apabila “shalatnya tegak berdiri, maka tegaklah agamanya, apabila shalatnya runtuh, runtuhlah agamanya”. Artinya apabila setiap umat muslim di Indonesia “mendirikan shalat”, tidak hanya melakukannya, maka akan terbangun karakter (akhlak mulia) bangsa, yang akan menjadi pondasi bagi pembangunan ekonomi  nasional yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat.  
Ibadah shalat yang merupakan ibadah yang utama dan pertama kali dihisab pada hari perhitungan, dapat dijadikan pembelajaran PAI berbasis kompetensi bertema ibadah bertujuan membangun karakter (akhlak mulia) generasi muda, dan menghilangkan pemeo STMJ yaitu shalat terus maksiat jalan. Dengan demikian sesuai dengan perintah Rasulullah Saw didiklah siswa SD dengan kemampuan shalat khusyu’. Mengapa harus belajar shalat khusyu’?
Karena dengan shalat khusyu, Allah Swt berjanji akan memasukkan orang-orang mukmin kedalam kelompok orang yang beruntung sesuai firmanNya, yang artinya : “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya” [Qs Al Mu’minun (23): 1-2]
Bagaimanakah shalat yang khusyu’ itu?
Pertama,shalat yang khusyu’ adalah shalat yang dilakukan dengan penuh konsentrasi.
Dalam bahasa Indonesia khusyu’ adalah konsentrasi, maka shalat yang khusyu’ adalah shalat yang dilakukan dengan penuh konsentrasi. Semua indra difokuskan hanya kepada Allah Swt yang merupakan satu-satunya tuhan yang wajib dan berhak disembah oleh manusia. Demikian juga pikiran, hati dan fisik jasmaniah, hanya ditujukan pada Allah Swt, oleh karena itu apa yang diucapkan dalam shalat harus difahami, dimengerti dan diyakini oleh hati, meskipun ducapkan dalam bahasa Arab. Belajar shalat khusyu’ merupakan pendidikan yang pertama dan utama dalam kehidupan.
Shalat yang khusyu’ adalah shalat yang dilakukan dengan konsentrasi dan ditindaklanjuti dengan perilaku ahlak mulia, sesuai dengan firmanNya, yang artinya : “dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna” [Qs Al Mu’minun (23): 3].
Setelah shalat khusyu’, siswa SD (anak usia 7 tahun) harus dilatih untuk tidak berbuat yang sia-sia atau tidak berguna. Dengan kata lain mereka dilatih untuk berperilaku atau berkarakter baik. Mereka juga dilatih untuk senang memberi, khususnya kepada kaum dhu’afa, dengan berzakat sesuai firmanNya, yang artinya : ”dan orang-orang yang menunaikan zakat” [Qs Al Mu’minun (23): 4].

Berilah pemahaman bahwa berzina dan LGBT merupakan perbuatan yang melampaui batas, melanggar larangan Allah Swt dan merupakan perbuatan dosa besar,  sesuai dengan firmanNya, yang artinya:  dan orang-orang yang menjaga kemaluannya “ [Qs Al Mu’minun (23): 5]

Mereka juga harus dilatih untuk “amanah” dan menepati janji-janji, karena janji adalah “hutang”, sesuai dengan firmanNya, yang artinya : “dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya”  [Qs Al Mu’minun (23): 8].

Mereka harus dilatih untuk belajar “memelihara shalat”nya. Apa maksudnya? Mereka berlatih mengamalkan semua ucapannya dalam shalatnya, sesuai dengan firmanNya, yang artinya : “dan orang-orang yang memelihara shalatnya” [Qs Al Mu’minun (23): 9].
Inilah yang disebut dengan belajar “mendirikan shalat”, yaitu belajar shalat dengan khusyu’ dan berlatih mengamalkannya dalam kehidupan dalam bentuk akhlak mulia, yang dijanjikan Allah Swt untuk menjadi pewaris syurga firdaus dan kekal di dalamnya, sesuai dengan firmanNya, yang artinya : “mereka Itulah orang-orang yang akan mewarisi,(yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. mereka kekal di dalamnya” [Qs Al Mu’minun (23): 10-11].
Surat Al Mu’minun (23) ayat 1 s/d 11 merupakan penjelasan dari surat Al Ankabut (29) ayat 45, bahwa perintah menegakkan shalat itu ditindak lanjuti dengan perilaku kita sehari-hari dalam kehidupan yaitu tidak boleh berbuat keji dan mungkar.
Dapat kita simpulkan bahwa:
Pertama, shalat khusyu’ adalah shalat yang dilaksanakan dengan penuh konsentrasi, berpusat pada penyembahan dan pengabdian manusia sebagai mahlukNya kepada Allah Swt, dengan melibatkan jiwa dan raga secara totalitas (integral) dan kemudian diamalkan dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk ahlak mulia.
Kedua, melaksanakan shalat dengan khusyu’ dapat disebut juga sebagai mendirikan shalat, karena mereka yang mendirikan shalat adalah mereka yang mengerjakan shalat dan sesudah shalat harus ditindak lanjuti dengan pelaksanaannya dalam kehidupan yaitu menahan diri untuk tidak berbuat keji serta tidak berbuat yang dilarang oleh Allah Swt (mungkar), sesuai dengan firmanNya dalam Qs Al Ankabut (29): 45. Ayat ini menegaskan bahwa mendirikan shalat terkait langsung dengan perilaku ahlak mulia. Orang mendirikan shalat adalah mereka yang melaksanakan shalat dengan khusyu’ dan memelihara shalatnya dalam kehidupan dalam bentuk perilaku akhlak mulia.
Ketiga, bukankah mendidik siswa shalat dengan berpedoman pada Al Qur’an [Qs Al Mu’minun (23) : 1 – 11] merupakan pendidikan berbasis kompetensi yang meng Integrasikan ilmu, iman dan amal ?

 2.4  Pola Pendidikan Sunda Berdimensi Karakter
Di wilayah Priangan ada istilah “Jalmi masagi” atau “Jalmi pasagi”, yaitu orang – orang  lega elmuna jeung gede amalna”. Jalmi masagi dapat diartikan orang yang memiliki ilmu yang luas dan banyak amalnya. “Amal” di wilayah priangan memiliki konotasi, arti yang tersirat di dalamnya bahwa perbuatannya itu ikhlas dilakukan semata – mata sebagai pengabdiannya kepada Allah Swt. Dengan demikian “Jalmi masagi” atau “Jalmi pasagi” adalah orang yang banyak ilmunya dan digunakannya dalam kehidupan sehari hari dengan Ikhlas.
Jalmi masagi adalah sosok manusia yang berpribadi integral yang memiliki ilmu (knowledge), digunakannya dalam kehidupan (skill) dengan ikhlas (attitude).
Dipandang dari sudut pendidikan maka “Jalmi masagi” atau “Jalmi pasagi“ adalah profil hasil pendidikan seutuhnya yang mengintergrasikan ketiga domain pendidikan, yaitu domain kognitif (Ilmu) domain motorik (aplikasi ilmu dalam kehidupan) dan domain afektif (nilai ikhlas).
Masagi atau pasagi secara kongkrit adalah bentuk balok atau kubus yang memiliki tiga dimensi, yaitu panjang , lebar dan tinggi. Maka apabila kita analogikan panjang (p) menjadi domain kognitif, dimensi lebar (l) menjadi domain motorik, dan dimensi tinggi (t) menjadi domain afektif maka jalmi masagi dapat digambarkan sebagai sosok yang memiliki kemampuan untuk memperoleh isi sebagai hasil perkalian p x l x t. Dengan kata lain “jalmi masagi” akan memperoleh sebanyk volume atau isi dari hasil ilmu (p) yang diamalkan (l) dalam iman kepadaNya (t), yaitu rizki yang barokah (halal dan bermanfaat). Maka lebih banyak ilmunya akan makin besar rizkinya. Demikian juga makin besar amalnya akan makin besar rizkinya dan makin besar atau makin tinggi tingkat ke-ikhlasannya akan makin besar balasannya (pahalanya) dari Allah Swt, aamiin Yaa Robbil Alamin.
Analisis “Jalmi Masagi
Konsep pendidikan masyarakat Sunda yang bertujuan membangun “orang-orang yang luas ilmu nya dan ilmunya tersebut digunakan dalam kehidupan dengan ikhlas (amal salih)” merupakan nilai budaya luhur pendidikan Sunda. Atau dapat disebut sebagai konsep “atikan Sunda” (konsep pendidikan Sunda).
Mengapa menggunakan istilah “lega elmuna” (luas ilmu nya) ?
Istilah luas memiliki dimensi panjang dan dimensi lebar. Luas adalah panjang (p) kali lebar (l). Apabila dimensi panjang dianalogikan sebagai domain kognitif (ilmu) dan dimensi lebar dianalogikan sebagai metode atau proses, maka dapat diartikan seorang “Jalmi masagi” memiliki ilmu yang luas karena ia berusaha menguasai dan memiliki ilmu, melalui self learning.
Karena secara teologis prinsip penguasaan dan pemilikan ilmu berdasarkan pada firman Allah Swt yang artinya : “tiada seseorang memperoleh sesuatu kecuali apa yang diupayakannya (sendiri)” [Qs An Najm (53): 39].
Jadi “Jalmi masagi” belajar sendiri menguasai dan memiliki ilmu dengan aktif, dan dikenal di Pesantren dengan “metode Sorogan” yaitu santri mempelajari bahan ajar yang ingin dikuasainya, dan kemudian di evaluasi kebenaran hasilnya bersama Kiyai atau Ustadz nya. Metode Sorogan menggambarkan betapa tingginya budaya Pesantren dalam dunia pendidikan, karena sebenarnya “ilmu tidak dapat di transfer”. Artinya Ilmu (konsep – konsep ilmu) yang dimiliki seorang Guru tidak dapat ditransfer dari “kepala” Guru kepada “kepala” siswa.
Dengan demikian metode sorogan termasuk pada pemahaman para konstruktivis, yaitu konsep – konsep keilmuan (scientific knowledge) hanya dapat dimiliki siswa dengan self learning (belajar sendiri), self exploration (belajar dengan mengeksplorasi) dan self evalution (belajar mengevaluasi keberhasilan belajar oleh diri sendiri) dan apabila yakin telah memperoleh sesuatu, barulah dikonfirmasikan kepada guru nya, melalui “sorogan”. Dengan belajar aktif melalui “Sorogan” para santri akan memiliki ilmu yang luas.
Pola belajar dengan metoda ilmiah, ada dalam Al Quran [Qs Al Alaq (96): 3 - 5], rupanya para Kiyai zaman dahulu telah menggunakannya.
Pemilikan Ilmu yang luas tidak akan ada mantaatnya tanpa diamalkan dalam kehidupan berdasarkan nilai – nilai keimanan. Oleh karena itu para Kiyai Pesantren di tatar Pasundan mengarahkan para santrinya kepada “jalmi masagi”. Mengapa ?
Karena yang dapat menghindarkan diri seseorang dari azab nereka adalah “amal salih” yaitu perbuatan yang berisikan nilai – nilai keimanan yang merupakan pengabdian dirinya kepada Allah Swt [Qs. Adz Zariyat (51) : 56]. Seperti firmanNya, yang artinya : “Sungguh telah Aku ciptakan manusia dengan bentuk yang sempurna. Selanjutnya Aku masukkan semuanya ke tempat yang paling rendah (neraka). Kecuali orang – orang yang beriman dan beramal salih kepadanya diberikan pahala yang terus menerus “ [Qs At Tin (95): 4-6]
Rentetan ayat tersebut merupakan salah satu firmanNya yang menekankan pada perbuatan yang dilandasi oleh nilai iman (amal salih) atau akhlak mulia. Ilmu yang banyak dan digunakan dalam kehidupan dengan ikhlas, akan berdampak pada penyebaran rahmatan lil alamin. Maka kepada mereka Allah Swt berjanji akan meningkatkan derajatnya [Qs Al Mujaadillah (58): 11]
Pola pendidikan yang membangun lulusan yang “masagi” adalah pola pendidikan “Ar Rafi” yang telah diimplementasikan di Perguruan Ar Rafi Bandung sejak Tahun 2004. Bukankah “Atikan Sunda” (pendidikan Sunda) yang bertujuan membangun “jalmi masagi” merupakan pola pendidikan untuk membangun manusia “unggul” ?
Bukankah pola pendidikan berbasis kompetensi bertujuan memberdayakan lulusan yang dijanjikan Allah SWT untuk menjadi manusia yang diunggulkan ?

2.5 Pendidikan Karakter Di Indonesia
2.5.1  Pengertian Karakter
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta mendefinisikan karakter sbb:
Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat. (Kemendiknas, Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, 2009)
Dengan demikian karakter seseorang merupakan perilaku orang tersebut dalam berpikir, berbicara, bersikap dan bertindak, yang dilandasi oleh nilai-nilai yang ada dalam sistem nilainya (value system), baik nilai personal, nilai sosial maupun nilai-nilai ketuhanan.
Ditinjau dari sudut performansi (unjuk kerja), baik verbal performance, attitudinal performance dan physical performance, maka karakter dapat di definisikan secara sederhana sebagai cara berpikir dan berbicara, bersikap dan bertindak berdasarkan sistem nilai yang dimilikinya. Dengan demikian karakter dapat disamakan dengan ahlak mulia, perbedaannya terletak pada perjanjian si pelaku dengan tuhannya. Ahlak mulia merupakan karakter yang baik dari umat muslim, karena ia punya perjanjian (aqidah) dengan Allah Swt Sang Pencipta (Holik). Nilai-nilai personal dan sosial dan spiritual umat muslim dilandasi oleh nilai-nilai keimanannya kepada Allah Swt. Sedangkan karakter yang baik berlandaskan kepada nilai-nilai personal, sosial dan spiritual yang bersifat universal.
Implementasi pembelajaran yang mencerdaskan emosional-spiritual pada umumnya merupakan pelatihan untuk membiasakan kebenaran dalam kehidupan sehari-hari, sehingga selalu terkait dengan kecerdasan kinestetis (perbuatan). Artinya kecakapan bersikap yang dilandasi oleh nilai-nilai ketuhanan lebih mudah dijelaskan dalam suatu tindakan atau perbuatan (motorik), yang di dalam masyarakat muslim dikenal dengan istilah amal salih. Amal adalah perbuatan atau tindakan, sedangkan salih adalah nilai dan sikap orang yang berbuat amal tersebut, yaitu nilai-nilai keikhlasan. Dengan kata lain, perbuatan tersebut dilaksanakan bukan termotivasi oleh sesuatu manfaat fisik material (motivasi ekstrinsik), melainkan hanya karena perintah Allah Swt, dengan berharap akan keridho’anNya (motivasi intrinsik).
Dengan demikian, bukankah pola pendidikan Pasundan juga berbasis kompetensi yang meng Integrasikan ilmu, iman dan amal dengan tujuan membangun lulusan “masagi” ?

2.5.2 Pengertian Pendidikan Karakter
Tujuan dari pendidikan di sekolah dan madrasah sangat tergantung pada kurikulum yang digunakannya.
Sebelum reformasi pendidikan, sekolah dan madrasah menggunakan kurikulum mata pelajaran yang bertujuan untuk menyiapkan lulusannya sebagai calon – calon ahli dalam suatu disiplin ilmu. Fokusnya adalah menguasai konsep – konsep keilmuan dasar yang merupakan pondasi dalam keahlian ilmu tersebut. Dalam pendidikan seperti ini dimensi karakter kurang ditekankan. Boleh dikatakan sebagai pendidikan yang  “tidak atau kurang” berdimensi karakter. Setelah  reformasi, pendidikan diarahkan kepada kompetensi lulusan yang meng-intregrasikan ketiga domain, yaitu kognitif (ilmu) afektif (nilai dan sikap) dan motorik (perilaku, tindakan).
Pendidikan berbasis kompetensi tidak berfokus pada keilmuan semata – mata melainkan kepada ketiga domain secara proposional sehingga aplikasi ilmu dalam kehidupan sosial merupakan latihan karakter.
Dengan demikian yang dimaksud dengan pendidikan karakter adalah pendidikan yang  berdimensi berkarakter.
Yang bagaimanakah pendidikan yang berkarakter ?
Pendidikan berbasis kompetensi adalah pendidikan yang mencerdaskan, kreatif, kompetitif, produktif dan berkarakter.

2.6 Peran Guru PAI dalam Memberdayakan Sekolah sebagai Pusat Pembangunan
      Karakter Bangsa

Para guru PAI dapat membangun kesadaran guru-guru umum dan kejuruan bahwa membelajarkan siswa-siswanya untuk menguasai ilmu dan teknologi tanpa pengamalannya dalam kehidupan dengan kebermanfaatan bagi dirinya dan masyarakat dan berintikan nilai-nilai keimanan atau aqidah, belum memenuhi perintah Allah Swt.
Artinya, belum dapat disebut sebagai ibadah kepadaNya,  karena hanya akan membangun siswa yang tidak satu kesatuan antara ucapan, tindakan dan niatnya dalam hatinya. Bukankah pembelajaran seperti itu hanya akan membangun lulusan yang tidak memiliki pribadi integral? Naudzu billahi mindzalik.

Yakinkanlah kepada Guru-Guru umum dan kejuruan bahwa tujuan pembelajaran dalam bidang keilmuan dan teknologi apapun adalah membangun lulusan ahli ibadah [Qs Ad Zariyat (51):56] calon pemimpin [Qs Al BAqarah (2): 30] masa depan.

Inilah yang disebut dengan pendidikan berbasis kompetensi yang berlandaskan pada UU Sisdiknas Tahun 2003. Jadi pendidikan berbasis kompetensi membelajarkan siswa untuk menguasai dan memiliki ilmu pengetahuan dan atau teknologi (KI-3) melatih siswa untuk mengamalkannya dalam kehidupan (KI-4) yang bermanfaat bagi masyarakat (KI-2) sebagai pengabdian kepada Allah Swt (KI-1). Bila semua guru melaksanakan pendidikan berbasis kompetensi secara konsisten, bukankah mereka membelajarkan siswa untuk beribadah kepada-Nya? Bukankah semua guru menjadi pendidik karakter?
Apabila semua guru menjadi pendidik karakter maka sekolah akan menjadi Pusat Pembangunan Karakter Bangsa. Inilah tugas utama Guru PAI sebagai khalifatullah.

Disamping itu Guru PAI dapat meminta bantuan guru-guru umum dan kejuruan untuk bersama-sama mendidik siswanya belajar dan berlatih mendirikan shalat khusyu’, dan implementasinya dalam kehidupan sebagai bentuk penebiasaan berakhlak mulia, yang berdampak pada latihan penyebaran rahmatan lil’alamiin.





Jumat, 18 November 2016

Pendidikan Agama Islam (PAI) Berbasis Kompetensi Bertema Ibadah (Membangun Generasi Khalifah Yang Abdullah)

Bab 1
Permasalahan Pendidikan Karakter Di Indonesia




Pendidikan karakter adalah pondasi Pembangunan Nasional, seperti yang diungkap Proklamator Kemerdekaan Indonesia Bung Karno, bahwa tidak akan ada Pembangunan Nasional tanpa Pembangunan Karakter. Bagi umat muslim ungkapan tersebut dapat diyakini kebenarannya karena dilandasi oleh keyakinan atas sabda Rasul Muhammad Saw, yang artinya : “Sesungguhnya aku di utus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” [H.R. Muslim dan ahmad]. Yang kemudian diteladaninya dengan akhlak mulia dan menyebarkan rahmatan lil’alamin. Akhlak mulia atau karakter baik, merupakan pondasi untuk meningkatkan kesejahteraan umat dan pembangunan secara menyeluruh.

Dalam rangka menguatkan pendidikaan karakter di sekolah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mempromosikan khusus tentang pendidikan karakter sejak Tahun 2010. Bahkan salah satu agenda reformasi pendidikan yang dimulai dengan ditetapkannya Undang-undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, adalah perubahan dari pendidikan yang berbasis mata pelajaran, menjadi pendidikan berbasis kompetensi yang berdimensi karakter.

Dari uraian di atas kemudian muncul beberapa pertanyaan penting yaitu :
1. Apakah Program Pendidikan Karakter yang dipromosikan Kemendikbud tersebut telah terlaksana dengan baik?
2. Apakah pendidikan berbasis kompetensi yang dapat memberdayakan lulusan pendidikan dasar dan menengah menjadi cerdas, kreatif, kompetitif, produktif dan berkarakter tersebut terlaksana secara konsisten?
Setelah dilakukan analisis, rupanya masih banyak kendala terhadap kedua program yang bagus tersebut. Berikut adalah beberapa permasalahan yang perlu dipikirkan untuk dicari solusinya, khususnya oleh Guru PAI, dan Guru – Guru lainnya.


1.1  Sudahkah Pelaksanaan Pendidikan di Sekolah dan Madrasah Konsisten dengan  Peraturan  Perundang-undangan?
Penulisan buku ini dilatar belakangi oleh kepedulian terhadap pentingnya  pendidikan yang memanusiakan manusia sebagai hamba-hamba Allah Swt (abdullah) calon pemimpin masa depan (khalifah), berakhlak mulia dan dapat menyebarkan kesejahteraan bagi masyarakat dan lingkungannya (rahmatan lil alamin). Guna mencapai hal tersebut, harus dicari solusi terhadap persoalan pokok pendidikan, antara lain:
Pertama adalah peran Guru sebagai tenaga fungsional yang profesional yang diyakini sebagai komponen kunci keberhasilan pelaksanaan pembelajaran di sekolah/madrasah,
Kedua peran kurikulum sebagai ujung tombak perencanaan pendidikan yang seharusnya mengarahkan kepada kemampuan (kompetensi) yang berdimensi akhlak mulia yang ditetapkan dalam Undang-undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 (UU Sisdiknas 2003), khususnya pada jenjang PAUD serta Pendidikan Dasar dan Menengah, dan
Ketiga peran sekolah/madrasah sebagai Pusat Pembangunan Masyarakat, khususnya sebagai Pusat Pengembangan Karakter Bangsa.
Berikut ini akan diuraikan dari ketiga poin di atas :
Pertama, peran dan fungsi Guru sebagai komponen kunci keberhasilan pendidikan di Sekolah/Madrasah.
Bahwa Guru merupakan komponen “kunci keberhasilan” dalam proses pembelajaran di sekolah, merupakan kesadaran dan keyakinan semua orang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan di seluruh dunia.
Kemudian apa peran dan fungsi Guru dalam pelaksanaan pendidikan?
Guru merupakan pemimpin dan manajer pembelajaran. Oleh karena itu Guru adalah pengembang kurikulum di sekolah yang menetapkan tujuan, materi dan metoda pembelajaran serta mengevaluasi keberhasilannya. Bahwa Guru sebagai pengembang kurikulum, merupakan ketetapan Undang-undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 38 ayat (2) sbb:
Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah dibawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor departemen agama kabupaten/kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah.
Ketetapan tersebut merupakan kesadaran Pemerintah, betapa pentingnya peran dan fungsi Guru dalam proses peningkatan mutu SDM (Sumber Daya Manusia) yang diperlukan bagi Pembangunan Nasional. Guru bukanlah pengajar sebagai pelaksana kurikulum, melainkan manajer dan pemimpin pembelajaran siswa di sekolah yang kompeten merencanakan kurikulum bagi siswa di sekolah/madrasahnya dan melaksanakannya serta mengevaluasi keberhasilannya sendiri.
Pasal 38 ayat (2) UU Sisdiknas tersebut mengembalikan peran Guru sebagai tenaga fungsional yang profesional, yang pengaruhnya sangat besar pada proses peningkatan mutu pendidikan nasional secara berkelanjutan.
Menurut penulis, salah satu upaya untuk membangun profesionalitas Guru diperlukan Organisasi Profesi Guru yang dapat membantu Pemerintah dalam upayanya meningkatkan mutu pendidikan yang dapat membangun lulusan yang cerdas, kompetitif, produktif dan berkarakter.
Kedua, peran kurikulum dalam membangun karakter bangsa.
Menteri Pendidikan periode yang lalu (bapak Anies Baswedan), pernah mengemukakan bahwa maraknya korupsi di Indonesia saat ini merupakan salah satu hasil pendidikan sebelum era reformasi. Yaitu pendidikan yang kurikulumnya dikembangkan berdasarkan materi pelajaran (subject matter curriculum), yang bertujuan membangun calon-calon ahli keilmuan, yang cenderung belum mengintegrasikan nilai-nilai karakter.
Bahwa maraknya geng motor, narkoba, aliran sesat, miras dan free sex diantara remaja saat ini, merupakan salah satu hasil pendidikan yang belum melaksanakan kurikulum berbasis kompetensi secara konsisten, sebagai salah satu agenda inti reformasi pendidikan.
Bahwa reformasi pendidikan yang tertuang dalam Undang-undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas tahun 2003), khususnya Pasal 3 yang berbunyi: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa berakhlakmulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab”, belum terlaksana secara konsisten, karena proses pembelajaran di sekolah masih banyak berorientasi pada pengetahuan.
Pasal tersebut merupakan landasan pelaksanaan pendidikan berbasis kompetensi di sekolah yang mengintegrasikan kognitif, afektif dan psikomotor, sebagai implementasi dari prinsip:“pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara”.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan yang berorientasi pada karakter sangat diperlukan saat ini dalam rangka membangun nilai dan sikap kewirausahaan pada generasi muda dan mencegah pengaruh negatif globalisasi.
Oleh karena itu perubahan arah pendidikan dasar dan menengah, dari penyiapan lulusan sebagai calon-calon ahli keilmuan menjadi lulusan yang berkemampuan, dalam arti lulusan yang memiliki ilmu dan teknologi (kompetensi inti-3), yang dapat menggunakannya dalam kehidupan (kompetensi inti-4), dengan penuh kebermanfaatan bagi dirinya dan masyarakat lingkungannya (kompetensi inti-2) sebagai pengabdian kepada tuhannya, Allah Swt (kompetensi inti-1), harus dilaksanakan di sekolah secara konsisten. Kunci keberhasilannya adalah guru yang kompeten dan profesional yang dapat melaksanakan pendidikan berbasis kompetensi yang mencerdaskan dan berdimensi karakter, sehingga sekolah kembali berperan sebagai Pusat Pembangunan Karakter Bangsa, khususnya generasi muda.
Ketiga, Perubahan Sistem Manajemen Pendidikan
Agenda reformasi pendidikan yang kedua, adalah mengubah sistem manajemen pendidikan, dari manajemen pendidikan yang sentralistik menjadi Manajemen Berbasis Sekolah/Madrasah (MBS/M), yang dilandasi oleh kesadaran bahwa manajemen pendidikan yang sentralistik belum berhasil membangun peningkatan mutu pendidikan yang merata di semua sekolah/madrasah diseluruh Indonesia mengingat luasnya wilayah. Solusinya adalah penetapan Manajemen Berbasis Sekolah/Madrasah (MBS/M) dalam Undang-undang  No 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 51 ayat (1) yaitu sbb: Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah.
Bahwa kewenangan sekolah dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) terlihat antara lain dalam fungsi perencanaan, dimana sekolah diberi kewenangan untuk menyusun kurikulum sekolahnya sendiri, yang disebut dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yang ditetapkan dalam UU Sisdiknas Tahun 2003 Pasal 38 ayat (2) dan Pasal 61 ayat (2), dalam pemberian STTB.
Perubahan dari manajemen  pendidikan yang sentralistik dalam era orde baru menjadi Manajemen Berbasis Sekolah dalam era reformasi merupakan suatu hal yang sangat rasional dan logis karena peningkatan mutu pendidikan hanya akan terjadi disekolah yang bertumpu pada Guru-Guru profesional dengan penanggung jawab pertama dan utamanya adalah Kepala Sekolah sebagai manejer pendidikan.
Dinas-dinas Pendidikan Kota, Kabupaten dan Provinsi dengan motto yang sama seperti Kementerian Pendidikan yaitu Tut Wuri Handayani artinya Dinas Pendidikan Provinsi bersama Dinas Pendidikan Kota dan Kabupaten  mendorong dari belakang, agar Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) berhasil. Siapa yang ing ngarso sung tulodo dan ing madyo mangun karso adalah mereka Kepala-kepala sekolah dan Guru-Guru.
Sudahkah agenda reformasi yang kedua ini dilaksanakan secara konsisten oleh Sekolah dan Madrasah ?
Kalau mutu pendidikan di Indonesia hanya ditinjau dari nilai UN (Ujian Nasional), artinya kita belum memasuki masyarakat global. Mari kita lihat bagaimana nilai Ujian PISA (Program of Internasional Student Assessment) yang diselenggarakan oleh OECD, bahwa anak-anak Indonesia hanya mendapat ranking 2 dari bawah. Anak-anak Indonesia usia 15 tahun hanya mendapat ranking 64 dalam Bahasa, Matematika dan IPA, dari 65 negara (Data Tahun 2012). Apakah ranking itu dapat dibanggakan secara regional? Padahal Malaysia yang tahun 1970-an belajar dari Guru-Guru profesional Indonesia, siswanya mendapat ranking jauh diatas Indonesia.

1.1.1   Kompetensi Guru dan Organisasi Profesi
Permasalahan lain yang harus dipikirkan solusinya adalah revolusi teknologi informatika dan komunikasi (TIK) yang sangat mempengaruhi generasi muda menjadi masyarakat pembelajar (learning society) dan masyarakat ilmiah (scientific society).
Dampaknya adalah, perubahan yang cepat dari mereka tidak secepat perubahan pada Guru – Guru, sehingga Guru – Guru sedikit tertinggal. Hal ini sudah dirasakan oleh para pakar pendidikan di Singapore sejak 15 tahun yang lalu.
Bagaimana di Indonesia?
1.1.2  Ada indikasi “menurunnya kemampuan, sikap dan perilaku” Guru
Penurunan kemampuan Guru berkaitan dengan kondisi dimana Guru tidak pernah memperbaharui pengetahuannya dan tidak bersikap sebagai Guru Pembelajar. Sementara yang mereka hadapi adalah  anak didik yang mayoritas berasal dari Generasi Z. Generasi Z adalah mereka yang lahir antara tahun 1995-2011 dan saat ini berusia 5 hingga 20 tahun. Ciri-ciri Generasi Z diantaranya merupakan generasi yang melek internet alias mahir secara digital. Kelompok usia ini gandrung akan teknologi informasi dan berbagai aplikasi komputer, yang pada akhirnya memudahkan mereka mengakses secara cepat informasi yang dibutuhkan. Dengan demikian, besar kemungkinan siswa justru lebih paham dengan materi yang diajarkan dibandingkan dengan Guru.
Guru adalah sosok orang segala ucapannya layak untuk “digugu” dalam arti dipatuhi oleh peserta didik dan diikuti oleh masyarakat lingkungannya, dan perilakunya patut “ditiru”. Belakangan ini ada indikasi penurunan sikap dan perilaku dari sosok Guru yang sebelumnya berkonotasi bisa digugu dan ditiru tadi. Munculnya kasus-kasus kekerasan maupun pelecehan yang dilakukan oleh oknum Guru, merupakan indikasi dari “lunturnya perilaku terpuji” sang Guru.
1.1.3  Organisasi Profesi Guru
Saat ini sudah banyak organisasi Guru di Indonesia, namun apakah mereka merupakan organisasi profesi seperti layaknya IDI (Ikatan Dokter Indonesia) di Indonesia? Salah satu ciri dari organisasi profesi antara lain bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan oleh Guru-Guru profesional dari organisasi Guru. Contohnya Kurikulum di Kanada dikembangkan oleh Canadian Teacher’s Association. Bahan-bahan ajar matematika dan sains dikembangkan oleh RECSAM (Regional Education Center for Science and Math) yang anggotanya adalah Guru-Guru profesional.
Untuk memberdayakan Guru-Guru Indonesia menjadi Guru professional yang dapat membelajarkan siswa dengan pola Self Learning, Self Exploration dan Self Evaluation, maka pola pembelajaran tersebut harus dimulai dari Gurunya (Ibda binafsika).
Reformasi Pendidikan yang tercantum dalam Undang-Undang Sisdiknas Pasal 51 ayat 1 tentang MBS, Pasal 38 ayat 2 tentang KTSP dapat dilaksanakan dengan baik bila Gurunya profesional.
1.2    Penurunan Karakter Generasi Muda
Revolusi TIK juga memberi dampak negatif kepada generasi muda, akibat dari “Budaya Barat” yang sangat cepat menyebar dan mempengaruhi mereka. Hal ini juga merupakan tantangan bagi Guru – Guru di Sekolah dan Madrasah yang harus berperan sebagai Pusat Pembangunan Masyarakat (Social Development Center)
Beberapa hal terkait dengan penurunan moral generasi muda adalah sebagai berikut.
1.2.1 Menurunnya Rasa Hormat Terhadap Guru
Tidak dapat dipungkiri, bahwa peranan Guru terhadap masa depan anak sangatlah besar. Dalam keseharian, para mu­rid berada dalam bimbingan Guru untuk dipersiapkan menjadi generasi penerus bangsa. Melihat pentingnya peranan Guru ini, maka sudah sepantasnya jika Guru mendapatkan penghargaan atas jasanya dan ditempatkan pada posisi yang ter­hor­mat.
Namun kenyataan belakangan menun­juk­kan lain. Keber­ada­an Guru tidak lagi selamanya dipandang sebagai profesi yang terhormat. Bahkan, sejumlah kasus perselisihan antara Guru dengan orang tua siswa menunjukkan bahwa penghormatan kepada Guru sudah semakin memudar. Kebanyakan perselisihan terjadi karena orang tua tidak terima terhadap tindakan Guru dalam memberikan peringatan dan teguran pada siswa. 
Dewasa ini kita juga bisa merasakan bahwa wibawa Guru di hadapan anak didiknya pun jauh menurun jika dibandingkan dengan zaman sebelumnya. Sebagai contoh, terkadang ada siswa tidak segan-segan meng­olok-olok Gurunya sendiri karena tidak suka terhadap Guru atau pelajaran yang diberikan Guru tersebut. Dalam interaksi sehari-hari, ba­nyak murid yang bersikap tidak sopan ke­pada Guru. Hal ini dapat dilihat dari cara mereka berbicara, bersikap, atau dari tingkat kepatuhannya.  Ketika murid di­ingat­kan oleh Guru, bukannya menuruti na­sihat Guru, tetapi banyak yang melawan.
Fenomena seperti ini terjadi akibat sistem pendidikan yang mengabaikan pendidikan perilaku dan karakter, serta terlalu menekankan pada aspek kognitif.
1.2.2  Semakin tingginya angka kenakalan Siswa
Kenakalan siswa antara lain ditunjukkan dengan semakin maraknya perkelahian antar siswa yang dikenal dengan istilah tawuran. Tawuran saat ini terjadi tidak saja membahayakan jiwa mereka sendiri, tetapi juga berdampak terhadap orang-orang di sekitarnya.
Kenakalan lainnya adalah berkembangnya budaya nyontek dan plagiatisme, penyalahgunaan obat-obatan, kebut-kebutan, geng motor, free sex, membully,  dan membolos.
Banyak hal yang bisa menjadi penyebab keadaan di atas, antara lain: 1) pengaruh buruk  perkembangan teknologi, 2) pengaruh buruk lingkungan pergaulan dan teman, 3) peniruan budaya luar yang tidak sesuai, 4) kurangnya penanaman karakter baik di sekolah maupun di rumah, 5) hilangnya keteladanan dari Orang tua dan Guru, dan sebagainya.

1.2.3                                            Pengaruh TIK Terhadap Penurunan Karakter

Masalah teknologi yang semakin maju, bukanlah hal baru untuk dibicarakan, tapi yang menjadi permasalahan kemudian adalah bagaimana dampak yang di timbulkannya. Arus kemajuan teknologi abad 21 ini memang semakin terasa derasnya, hal ini dapat dimaknai sebagai kemajuan positif maupun negatif.
Memang kedua hal tersebut (positif dan negatif) senantiasa berjalan beriringan, jika ada sisi positif dari suatu fenomena maka tidak jarang diiringi pula sisi negatifnya tergantung sejauh mana kita mampu memaknainya. Keinginan kita adalah mengambil sebanyak-banyaknya nilai positif dari kemajuan TIK dan mengurangi nilai negatifnya.
Tidak dapat di pungkiri kemajuan teknologi ternyata membawa perubahan besar bagi kehidupan manusia di dunia pada umumnya, dengan teknologi yang sangat modern maka sangat membantu kelancaran hidup manusia dan lebih mempermudah dalam melakukan segala sesuatunya. Teknologi modern yang dikenal adalah munculnya berbagai alat informasi dan komunikasi yang canggih yang bisa menjadikan suatu yang jauh menjadi dekat sedangkan yang dekat menjadi jauh.  Demikian pula halnya di sisi  alat transportasi yang sepertinya tidak ingin ketinggalan untuk mendapat sebutan teknologi modern dalam konteks kemajuan teknologi.
Terlepas dari beberapa keunggulannya, alat komunikasi dan informasi yang telah maju memiliki dampak negatif berupa penyalahgunaan yang mengakibatkan kemerosotan moral masyarakat. Tindakan-tindakan negatif yang merupakan penyalahgunaan TIK diantaranya adalah: 1) Cybercrime, 2) Hacking, 3) Cracking, 4) Pornografi, 5) Violence And Gore, 6) Penipuan, 7) Carding, 8) Perjudian, 9) Cyberstalking, dan 10) Cyber-Tresspass.
Salah satu contoh dampak yang paling mencolok dari perkembagan teknologi saat ini adalah Cybercrime  Jejaring Sosial di kalangan Generasi Muda. Kehadiran situs jejaring sosial khususnya Facebook dalam beberapa tahun belakangan ini topik utama bagi masyarakat khususnya generasi muda dari keterisolasian dan keterbelakangan mereka dari dunia luar yang ‘liar’. Betapa tidak, jejaring sosial yang didesain untuk situs pertemanan yang semestinya sudah berubah menjadi situs ‘pertemanan’ dengan bumbu dan aroma yang mempesona dan mampu memperdaya mereka para gadis dibawah umur untuk dijadikan objek perdagangan dan pelecehan seksual. Beberapa berita melansir adanya penculikan anak atau kasus pelarian anak di bawah umur yang masih berstatus pelajar yang berawal dari situs pertemanan atau jejaring sosial  di internet. Sifat anak yang mudah percaya pada siapapun memungkinkan terjadinya hal tersebut.
Berikut ini dampak negatif  jejaring sosial bagi generasi muda:
Ø  Tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya
Ø  Minimnya sosialisasi dengan lingkungan
Ø  Boros
Ø  Mengganggu kesehatan
Ø  Waktu belajar berkurang
Ø  Kurangnya perhatian untuk keluarga
Ø  Tersebarnya data pribadi
Ø  Mudah menemukan sesuatu berbau pornografi dan sex
Ø  Rawan terjadinya perselisihan
Ø  Rawan penipuan.
Bagaimana generasi muda kita tidak terperosok jika kita lihat dari beberapa informasi yang valid Indonesia menduduki daftar negara ke 4 pengguna media sosial facebook dengan Jumlah Pengguna Aktif : 60,3 Juta jiwa, dari jumlah Populasi : 253,6 juta jiwa.
1.2.4                                            Masalah Aliran Sesat
Pada saat ini tidak sedikit yang mengaku ormas Islam muncul dengan faham dan ideologi yang menyimpang dari Al Qur’an dan sunnah Rasul. Mereka mencoba mengubah pola pikir/tata cara berfikir generasi muda kita saat ini kedalam kelompok-kelompok exklusif. Kebenaran dari faham-faham itu perlu dipertanyakan, tentu saja kebenaran itu hanya milik Allah, sebagai mana firmanNya, yang artinya :
“ Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” [ Q s Al Baqarah (2): 147 ]
Berdasarkan pada informasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) ada 10 (Sepuluh) kriteria yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam dan ditetapkan sebagai aliran sesat. Sepuluh Kriteria Aliran Sesat tersebut diantaranya:
Ø  Mengingkari rukun iman dan rukun Islam,
Ø  Meyakini dan atau mengikuti akidah yangg tidak sesuai dalil syar`i (Al Qur’an  dan As-sunah),
Ø  Meyakini turunnya wahyu setelah Al Qur’an,
Ø  Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi Al Qur’an,
Ø  Melakukan penafsiran Al Qur’an  yang tidak berdasarkan kaidah tafsir,
Ø  Mengingkari kedudukan sunnah sebagai sumber ajaran Islam,
Ø  Melecehkan dan atau merendahkan para Nabi dan Rasul,
Ø  Mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul terakhir,
Ø  Mengubah pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariah, dan
Ø  Mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar'i.
Dari kriteria diatas tersebut kita memandang bahwa aliran sesat akan memberikan dampak negatif pada umat muslim di Indonesia terutama generasi muda kita. Hal yang paling mendasar yang perlu di respon oleh PPPKB adalah persoalan bagaimana mempertahankan nilai-nilai aqidah Islam di masyarakat indonesia khususnya generasi muda agar tetap sesuai dengan ajaran agama islam yang berpedoman pada Al Qur’an dan As-Sunnah, sehingga mereka tetap berperilaku berdasarkan akhlak mulia dan dapat menyebarkan rahmatan lil’alamin.
1.2.5  Maraknya Makanan “Beracun”, Yang Membahayakan
Pada saat ini anak-anak balita, siswa-siswa SD dan SMP serta orang dewasa muda sedang “diracuni oleh makanan yang berbahaya”,  antara lain seperti mie dan tahu dan makanan lain yang berformalin, beras yang diputihkan dengan boraks, kue-kue dan makanan ringan dengan warna yang menarik dengan menggunakan pewarna tekstil (rhodamin B), makanan yang digoreng dengan memakai minyak yang tercampur dengan plastik, bahkan saat ini kita dihebohkan dengan beras sintetis yang mengandung bahan plastik. Akibat dari makanan-makanan “beracun” tersebut, tidak sedikit anak-anak yang meninggal akibat gagal ginjal. Demikian juga orang dewasa muda yang meninggal karena kanker otak, gagal ginjal dan tumor. Selain makanan yang beracun, generasi muda juga di lemahkan fisiknya dengan minuman keras (miras) dan narkoba  yang telah banyak memakan korban mulai dari siswa sekolah sampai selebritis.
Akibat dari makanan “beracun”, miras dan narkoba akan mengakibatkan fisik generasi muda menjadi lemah, sakit bahkan sampai pada kematian.
Siapa yang memproduksi “makanan beracun” tersebut?
Tidak sedikit dari mereka adalah muslim. Mengapa mereka “tega meracunigenerasi muda keturunannya sendiri? Mereka tidak sadar, tidak berpikir kritis dan mungkin hanya dikendalikan oleh nafsu untuk memperoleh keuntungan material semata. Bukankah mereka itu hasil pendidikan yang hanya bertujuan pada keilmuan semata, yang memisahkan ilmu dari agama? Mereka belajar agama Islam sebagai ilmu yang jauh dari “keberagamaan”.
Mari kita berpikir, kalau makanan dan minuman  “beracun” tersebut berdampak pada penurunan kesehatan generasi muda dan masyarakat generasi 30 – 40 tahun, dapatkah mereka meningkatkan ekonomi keluarganya? Pasti jawabannya sulit. Dan generasi berikutnya merupakan masyarakat ekonomi lemah, sulit mendapatkan makanan yang baik kecuali “Makanan Beracun”, dan begitu seterusnya. Bukankah hal ini merupakan lingkaran menuju kepunahan? Naudzubillahi mindzalik.
Apa yang dapat memotong “Lingkaran “kepunahan tersebut”?
Jawabannya adalah pendidikan yang dapat membangun lulusan yang cerdas, kompetitif, produktif dan berakhlak mulia.
Siapa yang dapat melaksanakannya? Guru-Guru sebagai “Pendidik Profesional” pembangun karakter bangsa, yang berlandaskan pada pola-pola pendidikan dalam Al-Qur’an dan yang dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad Saw.




luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com