Jumat, 18 November 2016

Pendidikan Agama Islam (PAI) Berbasis Kompetensi Bertema Ibadah (Membangun Generasi Khalifah Yang Abdullah)

Bab 1
Permasalahan Pendidikan Karakter Di Indonesia




Pendidikan karakter adalah pondasi Pembangunan Nasional, seperti yang diungkap Proklamator Kemerdekaan Indonesia Bung Karno, bahwa tidak akan ada Pembangunan Nasional tanpa Pembangunan Karakter. Bagi umat muslim ungkapan tersebut dapat diyakini kebenarannya karena dilandasi oleh keyakinan atas sabda Rasul Muhammad Saw, yang artinya : “Sesungguhnya aku di utus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” [H.R. Muslim dan ahmad]. Yang kemudian diteladaninya dengan akhlak mulia dan menyebarkan rahmatan lil’alamin. Akhlak mulia atau karakter baik, merupakan pondasi untuk meningkatkan kesejahteraan umat dan pembangunan secara menyeluruh.

Dalam rangka menguatkan pendidikaan karakter di sekolah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mempromosikan khusus tentang pendidikan karakter sejak Tahun 2010. Bahkan salah satu agenda reformasi pendidikan yang dimulai dengan ditetapkannya Undang-undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, adalah perubahan dari pendidikan yang berbasis mata pelajaran, menjadi pendidikan berbasis kompetensi yang berdimensi karakter.

Dari uraian di atas kemudian muncul beberapa pertanyaan penting yaitu :
1. Apakah Program Pendidikan Karakter yang dipromosikan Kemendikbud tersebut telah terlaksana dengan baik?
2. Apakah pendidikan berbasis kompetensi yang dapat memberdayakan lulusan pendidikan dasar dan menengah menjadi cerdas, kreatif, kompetitif, produktif dan berkarakter tersebut terlaksana secara konsisten?
Setelah dilakukan analisis, rupanya masih banyak kendala terhadap kedua program yang bagus tersebut. Berikut adalah beberapa permasalahan yang perlu dipikirkan untuk dicari solusinya, khususnya oleh Guru PAI, dan Guru – Guru lainnya.


1.1  Sudahkah Pelaksanaan Pendidikan di Sekolah dan Madrasah Konsisten dengan  Peraturan  Perundang-undangan?
Penulisan buku ini dilatar belakangi oleh kepedulian terhadap pentingnya  pendidikan yang memanusiakan manusia sebagai hamba-hamba Allah Swt (abdullah) calon pemimpin masa depan (khalifah), berakhlak mulia dan dapat menyebarkan kesejahteraan bagi masyarakat dan lingkungannya (rahmatan lil alamin). Guna mencapai hal tersebut, harus dicari solusi terhadap persoalan pokok pendidikan, antara lain:
Pertama adalah peran Guru sebagai tenaga fungsional yang profesional yang diyakini sebagai komponen kunci keberhasilan pelaksanaan pembelajaran di sekolah/madrasah,
Kedua peran kurikulum sebagai ujung tombak perencanaan pendidikan yang seharusnya mengarahkan kepada kemampuan (kompetensi) yang berdimensi akhlak mulia yang ditetapkan dalam Undang-undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 (UU Sisdiknas 2003), khususnya pada jenjang PAUD serta Pendidikan Dasar dan Menengah, dan
Ketiga peran sekolah/madrasah sebagai Pusat Pembangunan Masyarakat, khususnya sebagai Pusat Pengembangan Karakter Bangsa.
Berikut ini akan diuraikan dari ketiga poin di atas :
Pertama, peran dan fungsi Guru sebagai komponen kunci keberhasilan pendidikan di Sekolah/Madrasah.
Bahwa Guru merupakan komponen “kunci keberhasilan” dalam proses pembelajaran di sekolah, merupakan kesadaran dan keyakinan semua orang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan di seluruh dunia.
Kemudian apa peran dan fungsi Guru dalam pelaksanaan pendidikan?
Guru merupakan pemimpin dan manajer pembelajaran. Oleh karena itu Guru adalah pengembang kurikulum di sekolah yang menetapkan tujuan, materi dan metoda pembelajaran serta mengevaluasi keberhasilannya. Bahwa Guru sebagai pengembang kurikulum, merupakan ketetapan Undang-undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 38 ayat (2) sbb:
Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah dibawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor departemen agama kabupaten/kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah.
Ketetapan tersebut merupakan kesadaran Pemerintah, betapa pentingnya peran dan fungsi Guru dalam proses peningkatan mutu SDM (Sumber Daya Manusia) yang diperlukan bagi Pembangunan Nasional. Guru bukanlah pengajar sebagai pelaksana kurikulum, melainkan manajer dan pemimpin pembelajaran siswa di sekolah yang kompeten merencanakan kurikulum bagi siswa di sekolah/madrasahnya dan melaksanakannya serta mengevaluasi keberhasilannya sendiri.
Pasal 38 ayat (2) UU Sisdiknas tersebut mengembalikan peran Guru sebagai tenaga fungsional yang profesional, yang pengaruhnya sangat besar pada proses peningkatan mutu pendidikan nasional secara berkelanjutan.
Menurut penulis, salah satu upaya untuk membangun profesionalitas Guru diperlukan Organisasi Profesi Guru yang dapat membantu Pemerintah dalam upayanya meningkatkan mutu pendidikan yang dapat membangun lulusan yang cerdas, kompetitif, produktif dan berkarakter.
Kedua, peran kurikulum dalam membangun karakter bangsa.
Menteri Pendidikan periode yang lalu (bapak Anies Baswedan), pernah mengemukakan bahwa maraknya korupsi di Indonesia saat ini merupakan salah satu hasil pendidikan sebelum era reformasi. Yaitu pendidikan yang kurikulumnya dikembangkan berdasarkan materi pelajaran (subject matter curriculum), yang bertujuan membangun calon-calon ahli keilmuan, yang cenderung belum mengintegrasikan nilai-nilai karakter.
Bahwa maraknya geng motor, narkoba, aliran sesat, miras dan free sex diantara remaja saat ini, merupakan salah satu hasil pendidikan yang belum melaksanakan kurikulum berbasis kompetensi secara konsisten, sebagai salah satu agenda inti reformasi pendidikan.
Bahwa reformasi pendidikan yang tertuang dalam Undang-undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas tahun 2003), khususnya Pasal 3 yang berbunyi: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa berakhlakmulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab”, belum terlaksana secara konsisten, karena proses pembelajaran di sekolah masih banyak berorientasi pada pengetahuan.
Pasal tersebut merupakan landasan pelaksanaan pendidikan berbasis kompetensi di sekolah yang mengintegrasikan kognitif, afektif dan psikomotor, sebagai implementasi dari prinsip:“pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara”.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan yang berorientasi pada karakter sangat diperlukan saat ini dalam rangka membangun nilai dan sikap kewirausahaan pada generasi muda dan mencegah pengaruh negatif globalisasi.
Oleh karena itu perubahan arah pendidikan dasar dan menengah, dari penyiapan lulusan sebagai calon-calon ahli keilmuan menjadi lulusan yang berkemampuan, dalam arti lulusan yang memiliki ilmu dan teknologi (kompetensi inti-3), yang dapat menggunakannya dalam kehidupan (kompetensi inti-4), dengan penuh kebermanfaatan bagi dirinya dan masyarakat lingkungannya (kompetensi inti-2) sebagai pengabdian kepada tuhannya, Allah Swt (kompetensi inti-1), harus dilaksanakan di sekolah secara konsisten. Kunci keberhasilannya adalah guru yang kompeten dan profesional yang dapat melaksanakan pendidikan berbasis kompetensi yang mencerdaskan dan berdimensi karakter, sehingga sekolah kembali berperan sebagai Pusat Pembangunan Karakter Bangsa, khususnya generasi muda.
Ketiga, Perubahan Sistem Manajemen Pendidikan
Agenda reformasi pendidikan yang kedua, adalah mengubah sistem manajemen pendidikan, dari manajemen pendidikan yang sentralistik menjadi Manajemen Berbasis Sekolah/Madrasah (MBS/M), yang dilandasi oleh kesadaran bahwa manajemen pendidikan yang sentralistik belum berhasil membangun peningkatan mutu pendidikan yang merata di semua sekolah/madrasah diseluruh Indonesia mengingat luasnya wilayah. Solusinya adalah penetapan Manajemen Berbasis Sekolah/Madrasah (MBS/M) dalam Undang-undang  No 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 51 ayat (1) yaitu sbb: Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah.
Bahwa kewenangan sekolah dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) terlihat antara lain dalam fungsi perencanaan, dimana sekolah diberi kewenangan untuk menyusun kurikulum sekolahnya sendiri, yang disebut dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yang ditetapkan dalam UU Sisdiknas Tahun 2003 Pasal 38 ayat (2) dan Pasal 61 ayat (2), dalam pemberian STTB.
Perubahan dari manajemen  pendidikan yang sentralistik dalam era orde baru menjadi Manajemen Berbasis Sekolah dalam era reformasi merupakan suatu hal yang sangat rasional dan logis karena peningkatan mutu pendidikan hanya akan terjadi disekolah yang bertumpu pada Guru-Guru profesional dengan penanggung jawab pertama dan utamanya adalah Kepala Sekolah sebagai manejer pendidikan.
Dinas-dinas Pendidikan Kota, Kabupaten dan Provinsi dengan motto yang sama seperti Kementerian Pendidikan yaitu Tut Wuri Handayani artinya Dinas Pendidikan Provinsi bersama Dinas Pendidikan Kota dan Kabupaten  mendorong dari belakang, agar Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) berhasil. Siapa yang ing ngarso sung tulodo dan ing madyo mangun karso adalah mereka Kepala-kepala sekolah dan Guru-Guru.
Sudahkah agenda reformasi yang kedua ini dilaksanakan secara konsisten oleh Sekolah dan Madrasah ?
Kalau mutu pendidikan di Indonesia hanya ditinjau dari nilai UN (Ujian Nasional), artinya kita belum memasuki masyarakat global. Mari kita lihat bagaimana nilai Ujian PISA (Program of Internasional Student Assessment) yang diselenggarakan oleh OECD, bahwa anak-anak Indonesia hanya mendapat ranking 2 dari bawah. Anak-anak Indonesia usia 15 tahun hanya mendapat ranking 64 dalam Bahasa, Matematika dan IPA, dari 65 negara (Data Tahun 2012). Apakah ranking itu dapat dibanggakan secara regional? Padahal Malaysia yang tahun 1970-an belajar dari Guru-Guru profesional Indonesia, siswanya mendapat ranking jauh diatas Indonesia.

1.1.1   Kompetensi Guru dan Organisasi Profesi
Permasalahan lain yang harus dipikirkan solusinya adalah revolusi teknologi informatika dan komunikasi (TIK) yang sangat mempengaruhi generasi muda menjadi masyarakat pembelajar (learning society) dan masyarakat ilmiah (scientific society).
Dampaknya adalah, perubahan yang cepat dari mereka tidak secepat perubahan pada Guru – Guru, sehingga Guru – Guru sedikit tertinggal. Hal ini sudah dirasakan oleh para pakar pendidikan di Singapore sejak 15 tahun yang lalu.
Bagaimana di Indonesia?
1.1.2  Ada indikasi “menurunnya kemampuan, sikap dan perilaku” Guru
Penurunan kemampuan Guru berkaitan dengan kondisi dimana Guru tidak pernah memperbaharui pengetahuannya dan tidak bersikap sebagai Guru Pembelajar. Sementara yang mereka hadapi adalah  anak didik yang mayoritas berasal dari Generasi Z. Generasi Z adalah mereka yang lahir antara tahun 1995-2011 dan saat ini berusia 5 hingga 20 tahun. Ciri-ciri Generasi Z diantaranya merupakan generasi yang melek internet alias mahir secara digital. Kelompok usia ini gandrung akan teknologi informasi dan berbagai aplikasi komputer, yang pada akhirnya memudahkan mereka mengakses secara cepat informasi yang dibutuhkan. Dengan demikian, besar kemungkinan siswa justru lebih paham dengan materi yang diajarkan dibandingkan dengan Guru.
Guru adalah sosok orang segala ucapannya layak untuk “digugu” dalam arti dipatuhi oleh peserta didik dan diikuti oleh masyarakat lingkungannya, dan perilakunya patut “ditiru”. Belakangan ini ada indikasi penurunan sikap dan perilaku dari sosok Guru yang sebelumnya berkonotasi bisa digugu dan ditiru tadi. Munculnya kasus-kasus kekerasan maupun pelecehan yang dilakukan oleh oknum Guru, merupakan indikasi dari “lunturnya perilaku terpuji” sang Guru.
1.1.3  Organisasi Profesi Guru
Saat ini sudah banyak organisasi Guru di Indonesia, namun apakah mereka merupakan organisasi profesi seperti layaknya IDI (Ikatan Dokter Indonesia) di Indonesia? Salah satu ciri dari organisasi profesi antara lain bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan oleh Guru-Guru profesional dari organisasi Guru. Contohnya Kurikulum di Kanada dikembangkan oleh Canadian Teacher’s Association. Bahan-bahan ajar matematika dan sains dikembangkan oleh RECSAM (Regional Education Center for Science and Math) yang anggotanya adalah Guru-Guru profesional.
Untuk memberdayakan Guru-Guru Indonesia menjadi Guru professional yang dapat membelajarkan siswa dengan pola Self Learning, Self Exploration dan Self Evaluation, maka pola pembelajaran tersebut harus dimulai dari Gurunya (Ibda binafsika).
Reformasi Pendidikan yang tercantum dalam Undang-Undang Sisdiknas Pasal 51 ayat 1 tentang MBS, Pasal 38 ayat 2 tentang KTSP dapat dilaksanakan dengan baik bila Gurunya profesional.
1.2    Penurunan Karakter Generasi Muda
Revolusi TIK juga memberi dampak negatif kepada generasi muda, akibat dari “Budaya Barat” yang sangat cepat menyebar dan mempengaruhi mereka. Hal ini juga merupakan tantangan bagi Guru – Guru di Sekolah dan Madrasah yang harus berperan sebagai Pusat Pembangunan Masyarakat (Social Development Center)
Beberapa hal terkait dengan penurunan moral generasi muda adalah sebagai berikut.
1.2.1 Menurunnya Rasa Hormat Terhadap Guru
Tidak dapat dipungkiri, bahwa peranan Guru terhadap masa depan anak sangatlah besar. Dalam keseharian, para mu­rid berada dalam bimbingan Guru untuk dipersiapkan menjadi generasi penerus bangsa. Melihat pentingnya peranan Guru ini, maka sudah sepantasnya jika Guru mendapatkan penghargaan atas jasanya dan ditempatkan pada posisi yang ter­hor­mat.
Namun kenyataan belakangan menun­juk­kan lain. Keber­ada­an Guru tidak lagi selamanya dipandang sebagai profesi yang terhormat. Bahkan, sejumlah kasus perselisihan antara Guru dengan orang tua siswa menunjukkan bahwa penghormatan kepada Guru sudah semakin memudar. Kebanyakan perselisihan terjadi karena orang tua tidak terima terhadap tindakan Guru dalam memberikan peringatan dan teguran pada siswa. 
Dewasa ini kita juga bisa merasakan bahwa wibawa Guru di hadapan anak didiknya pun jauh menurun jika dibandingkan dengan zaman sebelumnya. Sebagai contoh, terkadang ada siswa tidak segan-segan meng­olok-olok Gurunya sendiri karena tidak suka terhadap Guru atau pelajaran yang diberikan Guru tersebut. Dalam interaksi sehari-hari, ba­nyak murid yang bersikap tidak sopan ke­pada Guru. Hal ini dapat dilihat dari cara mereka berbicara, bersikap, atau dari tingkat kepatuhannya.  Ketika murid di­ingat­kan oleh Guru, bukannya menuruti na­sihat Guru, tetapi banyak yang melawan.
Fenomena seperti ini terjadi akibat sistem pendidikan yang mengabaikan pendidikan perilaku dan karakter, serta terlalu menekankan pada aspek kognitif.
1.2.2  Semakin tingginya angka kenakalan Siswa
Kenakalan siswa antara lain ditunjukkan dengan semakin maraknya perkelahian antar siswa yang dikenal dengan istilah tawuran. Tawuran saat ini terjadi tidak saja membahayakan jiwa mereka sendiri, tetapi juga berdampak terhadap orang-orang di sekitarnya.
Kenakalan lainnya adalah berkembangnya budaya nyontek dan plagiatisme, penyalahgunaan obat-obatan, kebut-kebutan, geng motor, free sex, membully,  dan membolos.
Banyak hal yang bisa menjadi penyebab keadaan di atas, antara lain: 1) pengaruh buruk  perkembangan teknologi, 2) pengaruh buruk lingkungan pergaulan dan teman, 3) peniruan budaya luar yang tidak sesuai, 4) kurangnya penanaman karakter baik di sekolah maupun di rumah, 5) hilangnya keteladanan dari Orang tua dan Guru, dan sebagainya.

1.2.3                                            Pengaruh TIK Terhadap Penurunan Karakter

Masalah teknologi yang semakin maju, bukanlah hal baru untuk dibicarakan, tapi yang menjadi permasalahan kemudian adalah bagaimana dampak yang di timbulkannya. Arus kemajuan teknologi abad 21 ini memang semakin terasa derasnya, hal ini dapat dimaknai sebagai kemajuan positif maupun negatif.
Memang kedua hal tersebut (positif dan negatif) senantiasa berjalan beriringan, jika ada sisi positif dari suatu fenomena maka tidak jarang diiringi pula sisi negatifnya tergantung sejauh mana kita mampu memaknainya. Keinginan kita adalah mengambil sebanyak-banyaknya nilai positif dari kemajuan TIK dan mengurangi nilai negatifnya.
Tidak dapat di pungkiri kemajuan teknologi ternyata membawa perubahan besar bagi kehidupan manusia di dunia pada umumnya, dengan teknologi yang sangat modern maka sangat membantu kelancaran hidup manusia dan lebih mempermudah dalam melakukan segala sesuatunya. Teknologi modern yang dikenal adalah munculnya berbagai alat informasi dan komunikasi yang canggih yang bisa menjadikan suatu yang jauh menjadi dekat sedangkan yang dekat menjadi jauh.  Demikian pula halnya di sisi  alat transportasi yang sepertinya tidak ingin ketinggalan untuk mendapat sebutan teknologi modern dalam konteks kemajuan teknologi.
Terlepas dari beberapa keunggulannya, alat komunikasi dan informasi yang telah maju memiliki dampak negatif berupa penyalahgunaan yang mengakibatkan kemerosotan moral masyarakat. Tindakan-tindakan negatif yang merupakan penyalahgunaan TIK diantaranya adalah: 1) Cybercrime, 2) Hacking, 3) Cracking, 4) Pornografi, 5) Violence And Gore, 6) Penipuan, 7) Carding, 8) Perjudian, 9) Cyberstalking, dan 10) Cyber-Tresspass.
Salah satu contoh dampak yang paling mencolok dari perkembagan teknologi saat ini adalah Cybercrime  Jejaring Sosial di kalangan Generasi Muda. Kehadiran situs jejaring sosial khususnya Facebook dalam beberapa tahun belakangan ini topik utama bagi masyarakat khususnya generasi muda dari keterisolasian dan keterbelakangan mereka dari dunia luar yang ‘liar’. Betapa tidak, jejaring sosial yang didesain untuk situs pertemanan yang semestinya sudah berubah menjadi situs ‘pertemanan’ dengan bumbu dan aroma yang mempesona dan mampu memperdaya mereka para gadis dibawah umur untuk dijadikan objek perdagangan dan pelecehan seksual. Beberapa berita melansir adanya penculikan anak atau kasus pelarian anak di bawah umur yang masih berstatus pelajar yang berawal dari situs pertemanan atau jejaring sosial  di internet. Sifat anak yang mudah percaya pada siapapun memungkinkan terjadinya hal tersebut.
Berikut ini dampak negatif  jejaring sosial bagi generasi muda:
Ø  Tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya
Ø  Minimnya sosialisasi dengan lingkungan
Ø  Boros
Ø  Mengganggu kesehatan
Ø  Waktu belajar berkurang
Ø  Kurangnya perhatian untuk keluarga
Ø  Tersebarnya data pribadi
Ø  Mudah menemukan sesuatu berbau pornografi dan sex
Ø  Rawan terjadinya perselisihan
Ø  Rawan penipuan.
Bagaimana generasi muda kita tidak terperosok jika kita lihat dari beberapa informasi yang valid Indonesia menduduki daftar negara ke 4 pengguna media sosial facebook dengan Jumlah Pengguna Aktif : 60,3 Juta jiwa, dari jumlah Populasi : 253,6 juta jiwa.
1.2.4                                            Masalah Aliran Sesat
Pada saat ini tidak sedikit yang mengaku ormas Islam muncul dengan faham dan ideologi yang menyimpang dari Al Qur’an dan sunnah Rasul. Mereka mencoba mengubah pola pikir/tata cara berfikir generasi muda kita saat ini kedalam kelompok-kelompok exklusif. Kebenaran dari faham-faham itu perlu dipertanyakan, tentu saja kebenaran itu hanya milik Allah, sebagai mana firmanNya, yang artinya :
“ Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” [ Q s Al Baqarah (2): 147 ]
Berdasarkan pada informasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) ada 10 (Sepuluh) kriteria yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam dan ditetapkan sebagai aliran sesat. Sepuluh Kriteria Aliran Sesat tersebut diantaranya:
Ø  Mengingkari rukun iman dan rukun Islam,
Ø  Meyakini dan atau mengikuti akidah yangg tidak sesuai dalil syar`i (Al Qur’an  dan As-sunah),
Ø  Meyakini turunnya wahyu setelah Al Qur’an,
Ø  Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi Al Qur’an,
Ø  Melakukan penafsiran Al Qur’an  yang tidak berdasarkan kaidah tafsir,
Ø  Mengingkari kedudukan sunnah sebagai sumber ajaran Islam,
Ø  Melecehkan dan atau merendahkan para Nabi dan Rasul,
Ø  Mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul terakhir,
Ø  Mengubah pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariah, dan
Ø  Mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar'i.
Dari kriteria diatas tersebut kita memandang bahwa aliran sesat akan memberikan dampak negatif pada umat muslim di Indonesia terutama generasi muda kita. Hal yang paling mendasar yang perlu di respon oleh PPPKB adalah persoalan bagaimana mempertahankan nilai-nilai aqidah Islam di masyarakat indonesia khususnya generasi muda agar tetap sesuai dengan ajaran agama islam yang berpedoman pada Al Qur’an dan As-Sunnah, sehingga mereka tetap berperilaku berdasarkan akhlak mulia dan dapat menyebarkan rahmatan lil’alamin.
1.2.5  Maraknya Makanan “Beracun”, Yang Membahayakan
Pada saat ini anak-anak balita, siswa-siswa SD dan SMP serta orang dewasa muda sedang “diracuni oleh makanan yang berbahaya”,  antara lain seperti mie dan tahu dan makanan lain yang berformalin, beras yang diputihkan dengan boraks, kue-kue dan makanan ringan dengan warna yang menarik dengan menggunakan pewarna tekstil (rhodamin B), makanan yang digoreng dengan memakai minyak yang tercampur dengan plastik, bahkan saat ini kita dihebohkan dengan beras sintetis yang mengandung bahan plastik. Akibat dari makanan-makanan “beracun” tersebut, tidak sedikit anak-anak yang meninggal akibat gagal ginjal. Demikian juga orang dewasa muda yang meninggal karena kanker otak, gagal ginjal dan tumor. Selain makanan yang beracun, generasi muda juga di lemahkan fisiknya dengan minuman keras (miras) dan narkoba  yang telah banyak memakan korban mulai dari siswa sekolah sampai selebritis.
Akibat dari makanan “beracun”, miras dan narkoba akan mengakibatkan fisik generasi muda menjadi lemah, sakit bahkan sampai pada kematian.
Siapa yang memproduksi “makanan beracun” tersebut?
Tidak sedikit dari mereka adalah muslim. Mengapa mereka “tega meracunigenerasi muda keturunannya sendiri? Mereka tidak sadar, tidak berpikir kritis dan mungkin hanya dikendalikan oleh nafsu untuk memperoleh keuntungan material semata. Bukankah mereka itu hasil pendidikan yang hanya bertujuan pada keilmuan semata, yang memisahkan ilmu dari agama? Mereka belajar agama Islam sebagai ilmu yang jauh dari “keberagamaan”.
Mari kita berpikir, kalau makanan dan minuman  “beracun” tersebut berdampak pada penurunan kesehatan generasi muda dan masyarakat generasi 30 – 40 tahun, dapatkah mereka meningkatkan ekonomi keluarganya? Pasti jawabannya sulit. Dan generasi berikutnya merupakan masyarakat ekonomi lemah, sulit mendapatkan makanan yang baik kecuali “Makanan Beracun”, dan begitu seterusnya. Bukankah hal ini merupakan lingkaran menuju kepunahan? Naudzubillahi mindzalik.
Apa yang dapat memotong “Lingkaran “kepunahan tersebut”?
Jawabannya adalah pendidikan yang dapat membangun lulusan yang cerdas, kompetitif, produktif dan berakhlak mulia.
Siapa yang dapat melaksanakannya? Guru-Guru sebagai “Pendidik Profesional” pembangun karakter bangsa, yang berlandaskan pada pola-pola pendidikan dalam Al-Qur’an dan yang dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad Saw.




0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com