Bab 1
Permasalahan Pendidikan Karakter Di Indonesia
Pendidikan karakter adalah pondasi Pembangunan Nasional, seperti yang
diungkap Proklamator Kemerdekaan Indonesia Bung Karno, bahwa tidak akan ada
Pembangunan Nasional tanpa Pembangunan Karakter. Bagi umat muslim ungkapan
tersebut dapat diyakini kebenarannya karena dilandasi oleh keyakinan atas sabda
Rasul Muhammad Saw, yang artinya : “Sesungguhnya aku di utus untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia” [H.R. Muslim dan ahmad]. Yang kemudian
diteladaninya dengan akhlak mulia dan menyebarkan rahmatan lil’alamin. Akhlak
mulia atau karakter baik, merupakan pondasi untuk meningkatkan kesejahteraan
umat dan pembangunan secara menyeluruh.
Dalam rangka menguatkan pendidikaan karakter di sekolah, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan telah mempromosikan khusus tentang pendidikan
karakter sejak Tahun 2010. Bahkan salah satu agenda reformasi pendidikan yang
dimulai dengan ditetapkannya Undang-undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional, adalah perubahan dari pendidikan yang berbasis mata
pelajaran, menjadi pendidikan berbasis kompetensi yang berdimensi karakter.
Dari uraian di atas kemudian muncul beberapa pertanyaan penting yaitu
:
1. Apakah Program Pendidikan Karakter yang dipromosikan Kemendikbud
tersebut telah terlaksana dengan baik?
2. Apakah pendidikan berbasis kompetensi yang dapat memberdayakan
lulusan pendidikan dasar dan menengah menjadi cerdas, kreatif, kompetitif,
produktif dan berkarakter tersebut terlaksana secara konsisten?
Setelah dilakukan analisis, rupanya masih banyak kendala terhadap
kedua program yang bagus tersebut. Berikut adalah beberapa permasalahan yang
perlu dipikirkan untuk dicari solusinya, khususnya oleh Guru PAI, dan Guru – Guru
lainnya.
1.1 Sudahkah
Pelaksanaan
Pendidikan di Sekolah dan Madrasah Konsisten dengan Peraturan Perundang-undangan?
Penulisan buku ini dilatar
belakangi oleh kepedulian terhadap pentingnya
pendidikan yang memanusiakan manusia sebagai hamba-hamba Allah Swt (abdullah)
calon pemimpin masa depan (khalifah), berakhlak mulia dan dapat
menyebarkan kesejahteraan bagi masyarakat dan lingkungannya (rahmatan lil
alamin). Guna mencapai hal tersebut, harus dicari solusi terhadap persoalan
pokok pendidikan, antara lain:
Pertama
adalah peran Guru sebagai tenaga fungsional yang profesional yang
diyakini sebagai komponen kunci keberhasilan pelaksanaan pembelajaran di
sekolah/madrasah,
Kedua
peran kurikulum sebagai ujung tombak perencanaan pendidikan yang
seharusnya mengarahkan kepada kemampuan (kompetensi) yang berdimensi akhlak
mulia yang ditetapkan dalam Undang-undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional Pasal 3 (UU Sisdiknas 2003), khususnya pada jenjang PAUD
serta Pendidikan Dasar dan Menengah, dan
Ketiga
peran sekolah/madrasah sebagai Pusat Pembangunan Masyarakat, khususnya
sebagai Pusat Pengembangan Karakter Bangsa.
Berikut ini akan
diuraikan dari ketiga poin di atas :
Pertama, peran
dan fungsi Guru sebagai komponen kunci keberhasilan pendidikan di
Sekolah/Madrasah.
Bahwa Guru merupakan
komponen “kunci keberhasilan” dalam proses pembelajaran di sekolah, merupakan
kesadaran dan keyakinan semua orang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan di
seluruh dunia.
Kemudian apa peran dan
fungsi Guru dalam pelaksanaan pendidikan?
Guru merupakan pemimpin
dan manajer pembelajaran. Oleh
karena itu Guru adalah pengembang kurikulum di sekolah yang menetapkan tujuan,
materi dan metoda pembelajaran serta mengevaluasi keberhasilannya. Bahwa Guru
sebagai pengembang kurikulum, merupakan ketetapan Undang-undang No 20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 38 ayat (2) sbb:
Kurikulum pendidikan dasar dan
menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau
satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah dibawah koordinasi dan supervisi
dinas pendidikan atau kantor departemen agama kabupaten/kota untuk pendidikan
dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah.
Ketetapan
tersebut merupakan kesadaran Pemerintah, betapa pentingnya
peran dan fungsi Guru dalam
proses peningkatan mutu SDM (Sumber Daya Manusia) yang diperlukan bagi
Pembangunan Nasional. Guru bukanlah
pengajar sebagai pelaksana kurikulum,
melainkan manajer dan pemimpin pembelajaran siswa di sekolah yang kompeten merencanakan kurikulum bagi siswa di sekolah/madrasahnya dan
melaksanakannya serta mengevaluasi keberhasilannya sendiri.
Pasal 38 ayat (2) UU
Sisdiknas tersebut mengembalikan peran Guru sebagai tenaga fungsional yang
profesional, yang pengaruhnya sangat besar pada proses peningkatan mutu
pendidikan nasional secara berkelanjutan.
Menurut penulis, salah
satu upaya untuk membangun profesionalitas Guru diperlukan Organisasi
Profesi Guru yang dapat membantu Pemerintah dalam upayanya meningkatkan
mutu pendidikan yang dapat membangun lulusan yang cerdas, kompetitif, produktif
dan berkarakter.
Kedua,
peran kurikulum dalam membangun karakter bangsa.
Menteri Pendidikan
periode yang lalu (bapak
Anies Baswedan), pernah mengemukakan bahwa
maraknya korupsi di Indonesia saat ini merupakan salah satu hasil pendidikan
sebelum era reformasi. Yaitu pendidikan yang kurikulumnya dikembangkan
berdasarkan materi pelajaran (subject
matter curriculum), yang bertujuan membangun calon-calon ahli keilmuan,
yang cenderung belum mengintegrasikan nilai-nilai karakter.
Bahwa maraknya geng
motor, narkoba, aliran sesat, miras dan free
sex diantara remaja saat ini, merupakan salah satu hasil pendidikan yang
belum melaksanakan kurikulum berbasis kompetensi secara konsisten, sebagai
salah satu agenda inti reformasi pendidikan.
Bahwa reformasi
pendidikan yang tertuang dalam Undang-undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas tahun 2003), khususnya Pasal 3 yang berbunyi: “Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa berakhlakmulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga yang demokratis serta
bertanggung jawab”, belum terlaksana secara konsisten, karena proses
pembelajaran di sekolah masih banyak berorientasi pada pengetahuan.
Pasal tersebut merupakan
landasan pelaksanaan pendidikan berbasis kompetensi di sekolah yang
mengintegrasikan kognitif, afektif dan psikomotor, sebagai implementasi dari
prinsip:“pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan,
pengendalian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara”.
Dari uraian di atas,
dapat disimpulkan bahwa pendidikan yang berorientasi pada karakter sangat
diperlukan saat ini dalam rangka membangun nilai dan sikap kewirausahaan pada
generasi muda dan mencegah pengaruh negatif globalisasi.
Oleh karena itu perubahan
arah pendidikan dasar dan menengah, dari penyiapan lulusan sebagai calon-calon
ahli keilmuan menjadi lulusan yang berkemampuan, dalam arti lulusan yang
memiliki ilmu dan teknologi (kompetensi
inti-3), yang dapat menggunakannya dalam kehidupan (kompetensi inti-4), dengan penuh kebermanfaatan bagi dirinya dan
masyarakat lingkungannya (kompetensi
inti-2) sebagai pengabdian kepada tuhannya, Allah Swt (kompetensi inti-1), harus dilaksanakan di sekolah secara konsisten.
Kunci keberhasilannya adalah guru yang kompeten dan profesional yang dapat
melaksanakan pendidikan berbasis kompetensi yang mencerdaskan dan berdimensi karakter,
sehingga sekolah kembali berperan sebagai Pusat Pembangunan Karakter Bangsa,
khususnya generasi muda.
Ketiga, Perubahan Sistem Manajemen
Pendidikan
Agenda reformasi pendidikan yang kedua, adalah
mengubah sistem manajemen pendidikan, dari manajemen pendidikan yang sentralistik
menjadi Manajemen Berbasis Sekolah/Madrasah (MBS/M), yang dilandasi oleh
kesadaran bahwa manajemen pendidikan yang sentralistik belum berhasil membangun
peningkatan mutu pendidikan yang merata di semua sekolah/madrasah diseluruh
Indonesia mengingat luasnya wilayah. Solusinya adalah penetapan Manajemen
Berbasis Sekolah/Madrasah (MBS/M) dalam Undang-undang No 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Pasal 51 ayat (1) yaitu sbb: Pengelolaan
satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan menengah
dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah.
Bahwa kewenangan sekolah
dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) terlihat antara lain dalam fungsi
perencanaan, dimana sekolah diberi kewenangan untuk menyusun kurikulum
sekolahnya sendiri, yang disebut dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP), yang ditetapkan dalam UU Sisdiknas Tahun 2003 Pasal 38 ayat (2) dan
Pasal 61 ayat (2), dalam pemberian STTB.
Perubahan dari
manajemen pendidikan yang sentralistik
dalam era orde baru menjadi Manajemen Berbasis Sekolah dalam era reformasi
merupakan suatu hal yang sangat rasional dan logis karena peningkatan mutu pendidikan hanya akan terjadi disekolah yang bertumpu
pada Guru-Guru profesional dengan penanggung jawab pertama dan utamanya adalah
Kepala Sekolah sebagai manejer pendidikan.
Dinas-dinas Pendidikan
Kota, Kabupaten dan Provinsi dengan motto yang sama seperti Kementerian
Pendidikan yaitu Tut Wuri Handayani artinya Dinas Pendidikan Provinsi bersama
Dinas Pendidikan Kota dan Kabupaten mendorong dari belakang, agar Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS) berhasil. Siapa yang ing ngarso sung tulodo
dan
ing madyo mangun karso adalah mereka Kepala-kepala sekolah dan Guru-Guru.
Sudahkah agenda reformasi yang kedua ini dilaksanakan secara konsisten
oleh Sekolah dan Madrasah ?
Kalau mutu pendidikan di
Indonesia hanya ditinjau dari nilai UN (Ujian Nasional), artinya kita belum
memasuki masyarakat global. Mari kita lihat bagaimana nilai Ujian PISA (Program of Internasional Student Assessment)
yang diselenggarakan oleh OECD, bahwa anak-anak Indonesia hanya mendapat
ranking 2 dari bawah. Anak-anak Indonesia usia 15 tahun hanya mendapat ranking
64 dalam Bahasa, Matematika dan IPA, dari 65 negara (Data Tahun 2012). Apakah
ranking itu dapat dibanggakan secara regional? Padahal Malaysia yang tahun
1970-an belajar dari Guru-Guru profesional Indonesia, siswanya mendapat ranking jauh diatas
Indonesia.
1.1.1
Kompetensi
Guru dan Organisasi Profesi
Permasalahan lain yang harus dipikirkan solusinya
adalah revolusi teknologi informatika dan komunikasi (TIK) yang sangat
mempengaruhi generasi muda menjadi masyarakat pembelajar (learning society) dan
masyarakat ilmiah (scientific society).
Dampaknya adalah, perubahan yang cepat dari mereka
tidak secepat perubahan pada Guru – Guru, sehingga Guru – Guru sedikit
tertinggal. Hal ini sudah dirasakan oleh para pakar pendidikan di Singapore
sejak 15 tahun yang lalu.
Bagaimana di Indonesia?
1.1.2 Ada indikasi “menurunnya kemampuan, sikap dan perilaku” Guru
Penurunan
kemampuan Guru berkaitan dengan kondisi dimana Guru tidak pernah memperbaharui
pengetahuannya dan tidak bersikap sebagai Guru Pembelajar. Sementara yang
mereka hadapi adalah anak didik yang
mayoritas berasal dari Generasi Z. Generasi Z adalah mereka yang lahir antara
tahun 1995-2011 dan saat ini berusia 5 hingga 20 tahun. Ciri-ciri Generasi Z
diantaranya merupakan generasi yang melek internet alias mahir secara digital.
Kelompok usia ini gandrung akan teknologi informasi dan berbagai aplikasi
komputer, yang pada akhirnya memudahkan mereka mengakses secara cepat informasi
yang dibutuhkan. Dengan demikian, besar kemungkinan siswa justru lebih paham dengan materi
yang diajarkan dibandingkan dengan Guru.
Guru adalah sosok orang segala
ucapannya layak untuk “digugu” dalam arti dipatuhi oleh peserta didik dan
diikuti oleh masyarakat lingkungannya, dan perilakunya patut “ditiru”.
Belakangan ini ada indikasi penurunan sikap dan perilaku dari sosok Guru yang
sebelumnya berkonotasi bisa digugu dan ditiru tadi. Munculnya kasus-kasus
kekerasan maupun pelecehan yang dilakukan oleh oknum Guru, merupakan indikasi
dari “lunturnya perilaku terpuji” sang Guru.
1.1.3 Organisasi Profesi Guru
Saat ini
sudah banyak organisasi Guru di Indonesia, namun apakah mereka merupakan
organisasi profesi seperti layaknya IDI (Ikatan Dokter Indonesia) di Indonesia?
Salah satu ciri dari organisasi profesi antara lain bahwa kurikulum pendidikan
dasar dan menengah dikembangkan oleh Guru-Guru profesional dari organisasi Guru.
Contohnya Kurikulum di Kanada dikembangkan oleh Canadian Teacher’s Association. Bahan-bahan ajar matematika dan
sains dikembangkan oleh RECSAM (Regional
Education Center for Science and Math) yang anggotanya adalah Guru-Guru
profesional.
Untuk
memberdayakan Guru-Guru Indonesia menjadi Guru professional yang dapat
membelajarkan siswa dengan pola Self
Learning, Self Exploration dan Self
Evaluation, maka pola pembelajaran tersebut harus dimulai dari Gurunya (Ibda binafsika).
Reformasi Pendidikan yang tercantum dalam
Undang-Undang Sisdiknas Pasal 51 ayat 1 tentang MBS, Pasal 38 ayat 2 tentang
KTSP dapat dilaksanakan dengan baik bila Gurunya profesional.
1.2
Penurunan Karakter Generasi Muda
Revolusi TIK juga memberi dampak negatif kepada
generasi muda, akibat dari “Budaya Barat” yang sangat cepat menyebar dan
mempengaruhi mereka. Hal ini juga merupakan tantangan bagi Guru – Guru di
Sekolah dan Madrasah yang harus berperan sebagai Pusat Pembangunan Masyarakat
(Social Development Center)
Beberapa hal terkait dengan penurunan moral
generasi muda adalah sebagai berikut.
1.2.1 Menurunnya Rasa Hormat
Terhadap Guru
Tidak dapat dipungkiri, bahwa peranan
Guru terhadap masa depan anak sangatlah besar. Dalam keseharian, para
murid berada dalam bimbingan Guru untuk dipersiapkan menjadi generasi
penerus bangsa. Melihat pentingnya peranan Guru ini, maka sudah sepantasnya
jika Guru mendapatkan penghargaan atas jasanya dan ditempatkan pada posisi yang
terhormat.
Namun
kenyataan belakangan menunjukkan lain. Keberadaan Guru tidak lagi selamanya
dipandang sebagai profesi yang terhormat. Bahkan, sejumlah kasus perselisihan
antara Guru dengan orang tua siswa menunjukkan bahwa penghormatan kepada Guru
sudah semakin memudar. Kebanyakan perselisihan terjadi karena orang tua tidak
terima terhadap tindakan Guru dalam memberikan peringatan dan teguran pada
siswa.
Dewasa
ini kita juga bisa merasakan bahwa wibawa Guru di hadapan anak didiknya pun
jauh menurun jika dibandingkan dengan zaman sebelumnya. Sebagai contoh,
terkadang ada siswa tidak segan-segan mengolok-olok Gurunya sendiri karena
tidak suka terhadap Guru atau pelajaran yang diberikan Guru tersebut. Dalam
interaksi sehari-hari, banyak murid yang bersikap tidak sopan kepada Guru.
Hal ini dapat dilihat dari cara mereka berbicara, bersikap, atau dari tingkat
kepatuhannya. Ketika murid diingatkan
oleh Guru, bukannya menuruti nasihat Guru, tetapi banyak yang melawan.
Fenomena
seperti ini terjadi akibat sistem pendidikan yang mengabaikan pendidikan
perilaku dan karakter, serta terlalu menekankan pada aspek kognitif.
1.2.2
Semakin
tingginya angka kenakalan Siswa
Kenakalan siswa antara lain ditunjukkan dengan
semakin maraknya perkelahian antar siswa yang dikenal dengan istilah tawuran.
Tawuran saat ini terjadi tidak saja membahayakan jiwa mereka sendiri, tetapi
juga berdampak terhadap orang-orang di sekitarnya.
Kenakalan
lainnya adalah berkembangnya budaya nyontek dan plagiatisme, penyalahgunaan
obat-obatan, kebut-kebutan,
geng motor, free sex, membully, dan membolos.
Banyak
hal yang bisa menjadi penyebab keadaan di atas, antara lain: 1) pengaruh
buruk perkembangan teknologi, 2)
pengaruh buruk lingkungan pergaulan dan teman, 3) peniruan budaya luar yang
tidak sesuai, 4) kurangnya penanaman karakter baik di sekolah maupun di rumah,
5) hilangnya keteladanan dari Orang tua dan Guru, dan sebagainya.
1.2.3
Pengaruh TIK Terhadap Penurunan Karakter
Masalah teknologi yang
semakin maju, bukanlah hal baru untuk dibicarakan, tapi yang menjadi
permasalahan kemudian adalah bagaimana dampak
yang di timbulkannya. Arus kemajuan teknologi abad 21 ini memang semakin terasa
derasnya, hal ini dapat dimaknai sebagai kemajuan positif maupun negatif.
Memang kedua hal tersebut
(positif dan negatif) senantiasa
berjalan beriringan, jika ada sisi positif
dari suatu fenomena maka tidak jarang diiringi pula sisi negatifnya tergantung
sejauh mana kita mampu memaknainya.
Keinginan kita adalah mengambil sebanyak-banyaknya nilai positif dari kemajuan
TIK dan mengurangi nilai negatifnya.
Tidak dapat di pungkiri
kemajuan teknologi ternyata membawa perubahan besar bagi kehidupan manusia di
dunia pada umumnya, dengan teknologi yang sangat modern maka sangat membantu
kelancaran hidup manusia dan lebih mempermudah dalam melakukan segala sesuatunya.
Teknologi modern yang dikenal adalah munculnya berbagai alat informasi dan
komunikasi yang canggih yang bisa menjadikan suatu yang jauh menjadi dekat
sedangkan yang dekat menjadi jauh. Demikian
pula halnya di sisi alat transportasi yang
sepertinya tidak ingin ketinggalan untuk mendapat sebutan teknologi modern
dalam konteks kemajuan teknologi.
Terlepas dari beberapa
keunggulannya, alat komunikasi dan informasi yang telah maju memiliki dampak negatif
berupa penyalahgunaan yang mengakibatkan kemerosotan moral masyarakat. Tindakan-tindakan negatif yang merupakan
penyalahgunaan TIK diantaranya adalah:
1) Cybercrime, 2) Hacking, 3) Cracking, 4) Pornografi, 5) Violence
And Gore, 6) Penipuan, 7) Carding,
8) Perjudian, 9) Cyberstalking, dan
10) Cyber-Tresspass.
Salah
satu contoh dampak yang paling mencolok dari perkembagan teknologi saat ini
adalah Cybercrime Jejaring Sosial di kalangan Generasi Muda. Kehadiran situs
jejaring sosial khususnya Facebook
dalam beberapa tahun belakangan ini topik utama bagi masyarakat khususnya
generasi muda dari keterisolasian dan keterbelakangan mereka dari dunia luar
yang ‘liar’. Betapa tidak, jejaring sosial yang didesain untuk situs
pertemanan yang semestinya sudah berubah menjadi situs ‘pertemanan’ dengan
bumbu dan aroma yang mempesona dan mampu memperdaya mereka para gadis dibawah
umur untuk dijadikan objek perdagangan dan pelecehan seksual. Beberapa berita
melansir adanya penculikan anak atau kasus pelarian anak di bawah umur yang
masih berstatus pelajar yang berawal dari situs pertemanan atau jejaring
sosial di internet. Sifat anak yang
mudah percaya pada siapapun memungkinkan terjadinya hal tersebut.
Berikut
ini dampak negatif jejaring sosial bagi generasi muda:
Ø Tidak
peduli dengan lingkungan sekitarnya
Ø Minimnya
sosialisasi dengan lingkungan
Ø Boros
Ø Mengganggu
kesehatan
Ø Waktu
belajar berkurang
Ø Kurangnya
perhatian untuk keluarga
Ø Tersebarnya
data pribadi
Ø Mudah
menemukan sesuatu berbau pornografi dan sex
Ø Rawan
terjadinya perselisihan
Ø Rawan
penipuan.
Bagaimana
generasi muda kita tidak terperosok jika kita lihat dari beberapa informasi
yang valid Indonesia menduduki daftar negara ke 4 pengguna media sosial
facebook dengan Jumlah Pengguna Aktif : 60,3 Juta jiwa, dari jumlah Populasi :
253,6 juta jiwa.
1.2.4
Masalah
Aliran Sesat
Pada
saat ini tidak sedikit yang mengaku ormas Islam muncul dengan faham dan
ideologi yang menyimpang dari Al Qur’an dan sunnah Rasul. Mereka mencoba
mengubah pola pikir/tata cara berfikir generasi muda kita saat ini kedalam
kelompok-kelompok exklusif. Kebenaran dari faham-faham itu perlu dipertanyakan,
tentu saja kebenaran itu hanya milik Allah, sebagai mana firmanNya, yang
artinya :
“
Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk
orang-orang yang ragu.” [ Q
s Al Baqarah (2): 147 ]
Berdasarkan pada
informasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) ada 10 (Sepuluh)
kriteria yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam dan ditetapkan sebagai
aliran sesat. Sepuluh Kriteria Aliran Sesat tersebut diantaranya:
Ø
Mengingkari rukun iman dan rukun
Islam,
Ø
Meyakini dan atau mengikuti
akidah yangg tidak sesuai dalil syar`i (Al Qur’an dan As-sunah),
Ø
Meyakini turunnya wahyu setelah
Al Qur’an,
Ø
Mengingkari otentisitas dan atau
kebenaran isi Al Qur’an,
Ø
Melakukan penafsiran Al
Qur’an yang tidak berdasarkan kaidah
tafsir,
Ø
Mengingkari kedudukan sunnah
sebagai sumber ajaran Islam,
Ø
Melecehkan dan atau merendahkan
para Nabi dan Rasul,
Ø
Mengingkari Nabi Muhammad SAW
sebagai Nabi dan Rasul terakhir,
Ø
Mengubah pokok-pokok ibadah yang
telah ditetapkan syariah, dan
Ø Mengkafirkan
sesama muslim tanpa dalil syar'i.
Dari kriteria diatas tersebut kita memandang bahwa
aliran sesat akan memberikan dampak negatif pada umat muslim di Indonesia
terutama generasi muda kita. Hal yang paling mendasar yang perlu di respon oleh
PPPKB adalah persoalan bagaimana mempertahankan nilai-nilai aqidah Islam di
masyarakat indonesia khususnya generasi muda agar tetap sesuai dengan ajaran
agama islam yang berpedoman pada Al Qur’an dan As-Sunnah, sehingga mereka tetap
berperilaku berdasarkan akhlak mulia dan dapat menyebarkan rahmatan lil’alamin.
1.2.5 Maraknya Makanan “Beracun”, Yang Membahayakan
Pada saat ini anak-anak
balita, siswa-siswa SD dan SMP serta orang dewasa muda sedang “diracuni oleh
makanan yang berbahaya”, antara lain
seperti mie dan tahu dan makanan lain
yang berformalin, beras yang
diputihkan dengan boraks, kue-kue
dan makanan ringan dengan warna yang menarik dengan menggunakan pewarna tekstil
(rhodamin B), makanan
yang digoreng dengan memakai minyak
yang tercampur dengan plastik, bahkan saat ini kita dihebohkan dengan beras sintetis yang mengandung bahan plastik.
Akibat dari makanan-makanan “beracun” tersebut, tidak sedikit anak-anak yang
meninggal akibat gagal ginjal. Demikian juga orang dewasa muda yang meninggal
karena kanker otak, gagal ginjal dan tumor. Selain makanan yang beracun,
generasi muda juga di lemahkan fisiknya dengan minuman keras (miras) dan
narkoba yang telah banyak memakan korban
mulai dari siswa sekolah sampai selebritis.
Akibat dari makanan
“beracun”, miras dan narkoba akan mengakibatkan fisik generasi muda menjadi
lemah, sakit bahkan sampai pada kematian.
Siapa yang memproduksi
“makanan beracun” tersebut?
Tidak
sedikit dari mereka adalah muslim. Mengapa mereka “tega meracuni”
generasi muda keturunannya sendiri? Mereka
tidak sadar, tidak berpikir kritis dan mungkin hanya dikendalikan oleh nafsu
untuk memperoleh keuntungan material semata. Bukankah mereka itu hasil pendidikan yang hanya bertujuan pada keilmuan semata, yang
memisahkan ilmu dari agama? Mereka belajar agama Islam sebagai
ilmu yang jauh dari “keberagamaan”.
Mari kita
berpikir, kalau makanan dan minuman
“beracun” tersebut berdampak pada penurunan kesehatan generasi muda dan
masyarakat generasi 30 – 40 tahun, dapatkah mereka meningkatkan ekonomi
keluarganya? Pasti jawabannya sulit. Dan generasi berikutnya merupakan
masyarakat ekonomi lemah, sulit mendapatkan makanan yang baik kecuali “Makanan
Beracun”, dan begitu
seterusnya. Bukankah
hal ini merupakan lingkaran menuju kepunahan? Naudzubillahi mindzalik.
Apa yang dapat memotong “Lingkaran “kepunahan tersebut”?
Jawabannya adalah pendidikan yang dapat membangun
lulusan yang cerdas, kompetitif, produktif dan berakhlak mulia.
Siapa yang dapat
melaksanakannya? Guru-Guru sebagai “Pendidik Profesional” pembangun karakter
bangsa, yang berlandaskan pada pola-pola pendidikan dalam Al-Qur’an dan yang
dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad Saw.
0 komentar:
Posting Komentar